Dirut Pertamina: Impor LNG Mozambik Mengacu Neraca Gas Bumi 2018

ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyebut rencana impor gas dari Mozambik sudah berjalan sejak 2013, di masa kepemimpinan Karen Agustiawan.
9/2/2021, 13.54 WIB

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati akhirnya memaparkan latar belakang dan alasan adanya perjanjian jual-beli (SPA) gas alam cair atau LNG dari Mozambik. Ia menyebut rencana impor gas ini sudah berjalan sejak 2013, di masa kepemimpinan Karen Agustiawan.

Ketika itu, Pertamina dengan Anadarko Petroleum Corporation mulai membicarakan potensi jual-beli LNG. Pada 2014, kedua perusahaan melakukan penandatanganan kesepakatan awal atau HoA dengan volume 1 juta ton per tahun (MTPA) selama 20 tahun. Harganya adalah DES (delivered ex-ship) 13,5% dari Japan crude cocktail (JCC).

Lalu, pada 2017, kedua belah pihak melakukan pembicaraan lagi terkait adendum (pasal tambahan) pada perjanjian jual-beli (SPA) karena perubahan kondisi pasar. Setahun kemudian, mereka melakukan finalisasi HoA. 

Baru pada Februari 2019, Pertamina menandatangani perjanjian jual-beli dengan Anadarko. Gas tersebut berasal dari Mozambique LNG1 Company Pte Ltd yang dimiliki Mozambique Area 1, anak usaha Anadarko. Pada September 2019, Total mengambil alih proyek LNG ini dari Anadarko.   

Nicke mengatakan keputusan impor tersebut mengacu pada neraca gas bumi yang dibuat pada 2011. Pemerintah memprediksi negara ini akan mengalami defisit gas pada 2025. “Sehingga kami cari sumber ke luar negeri dan akhirnya dari Mozambik selama 20 tahun,” katanya dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR, Selasa (9/2).

Dalam merencanakan kebutuhan LNG, Pertamina juga memastikannya kembali pada neraca gas bumi Indonesia yang dirilis pada 2018. Dalam proyeksi tersebut juga tercantum negara ini akan mengalami defisit gas pada 2025. 

Kondisi itu terjadi lantaran sumur gas dalam negeri diperkirakan akan mengalami penurunan produksi alami. Pertamina perlu melakukan impor LNG dan membangun infrastruktur gas dan regasifikasi. “Jadi, dasar inilah yang kami gunakan memetakan bisnis LNG nasional dan Pertamina ke depan,” ujar Nicke. 

Sebagai informasi, Kementerian ESDM merilis neraca gas bumi Indonesia 2018-2027 pada 1 Oktober 2018. Dengan menggunakan skenario pertama, neraca gas bumi nasional pada 2018 sampai 2027 selalu mengalami surplus. Asumsinya, kebutuhan gas dihitung berdasarkan pemanfaatan gas bumi dan tidak diperpanjangnya kontrak-kontrak ekspor jangka panjang.

Sedangkan pada skenario kedua, Indonesia mengalami surplus gas pada 2018 hingga 2024. Namun, mengalami defisit pada 2025 sampai 2027 dampak dari  asumsi kebutuhan gas sektor listrik sesuai rencana usaha penyediaan listrik (RUPTL) 2018-2027. 

Penyebab defisit lainnya adalah penambahan industri retail sebesar 5,5%, pelaksanaan proyek kilang serta pembangunan pabrik petrokimia  dan pupuk sesuai jadwal. Defisit gas pada 2025 diperkirakan mencapai 206,5 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), seperti terlihat pada Databoks di bawah ini.

Pada skenario ketiga, neraca gas bumi Indonesia juga akan mengalami defisit sejak 2025 hingga 2027. Pada 2025, defisit neraca gas sebesar 1.072 MMSCFD dan akan meningkat menjadi 1.572,43 MMSCFD pada 2026. Angkanya defisitnya kemudian turun pada 2027 menjadi 1.374,95 MMSCFD. 

Skenario dua dan tiga belum memperhitungkan produksi gas dari Blok Masela dan East Natuna. Kedua blok ini diperkirakan baru berproduksi pada 2027.

Alasan Pertamina Pilih LNG Mozambik

Nicke mengatakan terpilihnya Mozambik menjadi pemasok gas bumi pada 2025 mendatang karena harganya lebih kompetitif untuk jangka panjang. Di samping itu, ada fleksibilitas dalam kontrak, termasuk waktu pengiriman dan volumenya.

Sumber gas bumi dari Mozambik yang besar memberikan kepastian pasokan di masa depan dalam kontrak. Peluang kerja sama ini juga, menurut dia, akan memberikan nilai tambah seperti investasi kapal hingga hak partisipasi di hulu atau infrastruktur.

Sebelumnya, Pertamina, terancam menghadapi gugatan dari perusahaan asal Amerika, Anadarko Petroleum Corporation. Anadarko dikabarkan menagih Pertamina membayar kerugian akibat pembatalan perjanjian jual beli gas alam cair liquefied natural gas (LNG) pada Februari 2019.

Namun, berdasarkan sumber Katadata.co.id, sebenarnya ancaman itu datang dari Kementerian Sumber Daya Mineral dan Energi Mozambik. Pada akhir 2019, kementerian ini mengirimkan surat ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia. “Mereka melaporkan Pertamina yang tidak melanjutkan pembelian LNG tersebut,” kata sumber itu.

Apabila tidak kunjung dieksekusi, tuntutan kerugiannya dapat mencapai US$ 2,8 miliar atau hampir Rp 40 triliun. Dewan komisaris Pertamina di bawah pimpinan Ahok lalu mengetahui hal tersebut dan langsung meminta adanya evaluasi tentang impor LNG.

Reporter: Verda Nano Setiawan