- Regulator dan pelaku usaha sektor hulu migas masih menanti kenaikan harga minyak yang lebih stabil.
- Kondisinya baru sekadar mengembalikan para pelaku usaha ke kondisi operasional normal.
- Untuk menggairahkan investasi, perlu penemuan lapangan-lapangan migas baru skala besar.
Harga minyak mentah dunia kembali bangkit setelah terdampak pandemi corona. Angkanya pada awal pekan ini menembus level tertinggi di atas US$ 60 per barel.
Salah satu pemicu perbaikan harganya karena kehadiran vaksin Covid-19. Prospek ekonomi menjadi lebih cerah. Pelaku pasar melihat permintaan energi akan pulih. Di sisi lain, para produsen minyak global pun menjaga permintaan dan pasokan tetap stabil dengan menahan produksinya.
Berdasarkan data Bloomberg siang tadi, Selasa (16/2), harga minyak jenis Brent untuk kontrak pengiriman April 2021 naik 0,24% ke level US$ 63,45 per barel. Sedangkan harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Maret 2021 bertambah 1,03% ke level US$ 60,08 per barel. Grafik Databoks berikut ini menunjukkan pergerakan harganya dalam setahun terakhir.
Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan pemerintah dan pelaku usaha migas masih menunggu kenaikan harga minyak yang stabil. “Kalau stabil di angka US$ 60 per barel pasti akan menambah gairah investasi hulu migas," katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (16/2).
Kenaikan harga minyak saat ini sangat dipengaruhi sentimen positif pasar. Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih mengatakan kondisi tersebut dapat mendorong realisasi proyek migas dan mendukung peningkatan produksi.
“Kami sedang berkoordinasi dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk memitigasi proyek-proyek yang bisa direalisasikan dan mempercepat prosesnya," ujarnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong pun menyambut baik kenaikan harga minyak dunia ini. Namun, yang paling utama sekarang adalah kestabilan harga. "Masih harus dipantau untuk bisa mengetahui pengaruhnya kepada proyek proyek migas," ucap dia.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal pun berpendapat serupa. Proses meningkatkan atau mengembalikan sebagian tingkat operasi produksi membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Kontraktor migas akan selalu berhati-hati dengan hal itu agar tidak terlalu mengeluarkan banyak biaya. Kegiatan produksi yang menghasilkan pendapatan secara jangka pendek saat ini masih diutamakan. “Kami berharap harga minyak akan bertahan di atas US$ 60/barel," ucapnya.
Momentum Industri Hulu Migas
Kenaikan harga minyak dunia dapat menjadi momentum untuk sektor hulu migas. Dengan angka di atas US$ 60 per barel, nilai keekonomian proyek-proyeknya menjadi lebih terjangkau.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyebut beberapa lapangan migas dalam negeri biaya per barelnya cukup tinggi. Target pengeboran sumur pengembangan tahun ini sebanyak 616 pengeboran dan 43 pengeboran eksplorasi prediksinya dapat terealisasi.
Ia pun optimistis target investasi migas sebesar US$ 12,3 miliar (sekitar Rp 172,2 triliun) dapat tercapai. Target lifting migas 2021 pun bisa terlaksana. "Saya berharap, KKKS menjalankan komitmen mereka untuk melakukan kegiatan pengeboran dan eksplorasi karena harga sedang bagus," ujarnya.
Target produksi siap jual atau lifting migas tahun ini adalah 1,7 juta barel setara minyak per hari (BOEPD). Angka ini terdiri dari lifting minyak 705 ribu barel per hari (BOPD) dan lifting gas bumi sekitar 1 juta barel setara minyak per hari.
Stimulus ekonomi yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat Joe Biden, menurut Mamit, akan membangkitkan perekonomian negara itu dan menstabilkan harga minyak. Pemulihan ekonomi global juga akan terjadi seiring dengan berjalannya program vaksinasi Covid-19 di berbagai negara.
Ditambah lagi, organisasi negara pengekpor minyak dan sekutunya alias OPEC+ berkomitmen memangkas produksi. Ia memprediksi kenaikan harga saat ini sifatnya jangka panjang. "Memang akan fluktuatif, tapi saya kira akan tetap jauh lebih tinggi dari tahun 2020," ujar Mamit.
Momen ini harus pemerintah dan SKK Migas tangkap untuk memastikan komitmen KKKS mencapai target-targetnya. Pemerintah juga perlu mempercepat kebijakan, seperti penerbitan rencana pengembangan atau PoD untuk proyek migas.
Harga minyak di atas US$ 60 per barel, menurut pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto, belum cukup membuat aktivitas hulu migas meningkat. Kondisinya baru sekadar mengembalikan para pelaku usaha ke kondisi operasional normal.
Fokus investasi dan aktivitas masih tetap akan pada optimalisasi produksi melalui pemeliharaan sumur dan beberapa pengeboran sumur pengembangan. “Jadi baru akan sebatas menormalkan ke tingkat itu. Untuk bangkit, parameter harga US$ 60 per barel saja sangat tidak cukup," kata dia.
Untuk menggairahkan investasi, perlu penemuan lapangan-lapangan migas baru skala besar, baik konvensional maupun nonkonvensional. Peran dari pemain-pemain besar skala clobal untuk berinvestasi sangat penting dalam hal ini.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pemboran Minyak, Gas, dan Panas Bumi Indonesia (APMI) Wargono Soenarko mengatakan kenaikan harga minyak tentunya cukup baik untuk industri dalam negeri. Namun, perlu ada perbaikan untuk menggairahkan kembali sektor ini.
Pertama, kontrak kerja yang teliti secara hukum dan posisi pemerintah pelu lebih dominan. Kedua, pemilihan investor yang bonafide dan jujur.
Ketiga, posisi pelaku usaha penunjang migas harus setara dengan KKKS. SKK Migas pun harus mengawasi hal ini. "Jangan sampai seperti yang sudah-sudah, kontraktor terlambat bayar bahkan tidak bayar. Kontraktor pengeboran tidak berdaya dan tidak ada yang peduli," ujarnya.
Keempat, tidak perlu lagi pedoman tender. Aturannya cukup mengikuti yang telah dibuat pemerintah dan dipakai di bidang-bidang lain di seluruh Indonesia. Terakhir, jangan ada lagi pihak yang curang dan memanipulasi di industri migas ini.
Ekspor Migas Januari 2021 Tumbuh 8,30%
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia pada Januari 2021 sebesar US$ 15,30 miliar. Angka ini turun 7,84% dibandingkan Desember 2020 sebesar US$ 16,54 miliar.
Penurunan nilai ekspor tersebut didorong oleh penurunan ekspor migas sebesar 13,24%. Sementara ekspor non migas tercatat turun 7,11% M-to-M.
Namun, bila dibandingkan dengan Januari 2020 yang sebesar US$ 13,63 miliar, nilai ekspor Januari 2021 tercatat naik sebesar 12,24%. Dengan sektor migas tumbuh 8,30% di Januari 2021.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan faktor kenaikan ekspor tersebut adalah rebound alias pemulihan harga minyak sepanjang Januari. Pasokan minyak terjaga karena aksi menahan produksi dari anggota OPEC+.
Impor migas turun, menurut dia, karena aktivitas industri dan rumah tangga di dalam negeri melemah saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Jawa-Bali. Apalagi pasca libur panjang Natal dan tahun baru, sektor transportasi pun melemah.
Tren ke depan, harga minyak mentah dunia akan terus membaik Seiring kenaikan ekspor migas. “Proyeksinya bisa tembus US$ 65 hingga US$ 70 per barel di akhir bulan ini. Apalagi ada ketegangan di Timur Tengah dengan naiknya eskalasi Arab Saudi versus Yaman,” ucap Bhima.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan tidak banyak negara yg mengalami pertumbuhan ekspor di tengah pandemi. Indonesia cukup beruntung karena mengandalkan ekspor komoditas. Permintaannya terjaga karena pulihnya perekonomian Tiongkok.
Dengan argumentasi tersebut, Piter memperkirakan neraca perdagangan masih akan surplus selama pandemi corona berlangsung, dengan asumsi harga komoditas terus terjaga tinggi.
Surplus neraca perdagangan akan mulai menurun pada triwulan III dan IV tahun ini. "Meskipun surplus, Indonesia belum bisa sepenuhnya bergembira karena terjadi di tengah penurunan impor," ucapnya.
Penurunan impor barang modal dan bahan baku mencerminkan sektor industri masih terpuruk. Permintaan baru akan membaik ketika pandemi berakhir. "Saat industri mulai bangkit, impor akan lebih cepat dan akan menggerus surplus neraca perdagangan," kata dia.