Harga minyak akhirnya terkoreksi pada hari ini, Jumat (26/2), setelah dalam sepekan terakhir melakukan reli. Penurunannya mencapai lebih 1% karena terimbas penguatan dolar Amerika Serikat.
Melansir dari data Bloomberg, minyak mentah Brent turun 1,2% menjadi US$ 66,08 per barel. Lalu, minyak West Texas Intermediate berkurang 1,02% menjadi US$ 62,88 per barel pada pukul 16.34 WIB.
Sejak awal tahun hingga saat ini, harga minyak telah melonjak lebih 30%. Pasar merespon positif kehadiran vaksinasi Covid-19 yang diperkirakan bakal menghentikan pandemi dan memulihkan ekonomi.
Kenaikan tersebut, menurut ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet, memberikan berdampak dua sisi bagi Indonesia. Sisi positifnya, perusahaan minyak dan gas bumi (migas) berpeluang mencetak peningkatan pendapatan.
Pertamina, misalnya, melaporkan perbaikan laporan keuangan pada periode kedua tahun lalu. Pemulihan itu seiring dengan kehadiran vaksinasi yang mendorong kenaikan harga minyak.
Di sisi lain, pemulihan tersebut berpotensi pada kenaikan harga bahan bakar minyak alias BBM. Asumsi harga yang ditetapkan pemerintah jauh lebih kecil daripada realisasi harga minyak saat ini.
Dalam anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN 2021, harga minyak mentah acuan Indonesia atau ICP dipatok di US$ 45 per barel. “Penyesuaian subsidi akan berpengaruh terhadap naik atau tidaknya BBM dalam negeri,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (26/2).
Dampak ke pendapatan negara juga positif. Apalagi pergerakan harga minyak beriringan dengan komoditas tambang lainnya, seperti batu bara.
Sektor pertambangan merupakan penyumbang terbesar kas negara. Dengan asumsi kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel, maka pendapatan Indonesia naik Rp 3,7 triliun sampai Rp 4,7 triliun.
Kenaikan harga minyak hingga US$ 60 sampai US$ 65 per barel, maka potensi pertambahan pundi negara berada di kisaran Rp 90 triliun sampai Rp 110 triliun.
Eksplorasi Industri Hulu Migas Berpeluang Naik
Kenaikan harga minyak menjadi angin segar bagi industri hulu migas. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan kontraktor kontrak kerja sama atau KKKS akan terdorong untuk melakukan kegiatan pengeboran dan perawatan sumur.
Seluruh kegiatan itu dapat meningkatkan produksi migas Tanah Air. Target produksi siap jual atau lifting untuk minyak tahun ini sebesar 705 ribu barel per hari. Sedangkan lifting gas dipatok 1,07 juta barel ekuivalen minyak per hari (BOEPD).
Dengan banyaknya pekerjaan di sektor migas, maka tenaga kerja yang terserap akan naik, begitu pula dengan perekonomian masyarakat sekitar.
Yang jadi persoalan adalah kenaikan harga BBM. Komponen pembentuknya ada mean Platts Singapore (MOPS) atau Argus yang berpatokan pada harga minyak dunia.
Apabila terus mengalami kenaikan, Pertamina dan badan usaha lainnya mau-tak mau menaikkan harga BBM nonsubsidi. Untuk Premiun dan Pertalite, yang bersubsidi, masih dapat tertahan. “Ini akhirnya yang memberatkan keuangan negara,” kata Mamit.
Ia memproyeksikan harga minyak dunia tahun ini akan berada di angka US$ 60 sampai US$ 70 per barel, bahkan lebih. Dengan catatan, program vaksinasi secara global berjalan lancar. Perekonomian dunia dapat tumbuh dan konsumsi bahan bakar pun pulih.