- Izin pemanfaatan limbah batu bara dari pembangkit listrik tenaga uap telah diberikan untuk 52 lokasi.
- Kandungan FABA disebut mengandung logam berat dan berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan.
- Pengusaha batu bara mendorong pemerintah mengeluarkan pula batu bara dari pembakaran tungku industri dari kategori berbahaya dan beracun.
Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menimbulkan kontroversi. Pemerintah mengeluarkan limbah batu bara hasil pembakaran pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).
Jenis limbah yang keluar dari kategori B3 tersebut adalah fly ash (abu terbang) dan bottom ash (abu padat) atau FABA. Para produsen batu bara menyambut positif kebijakan turunan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja itu. Limbah pembangkit kini dapat diolah untuk bahan konstruksi bangunan dan jalan.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati menyebut alasan di balik keputusan tersebut. Pertama, proses pembakaran di pembangkit menggunakan temperatur tinggi, yaitu 800 derajat Celcius. Dengan memakai batu bara kalori tinggi, pembakarannya pun menjadi sempura dan minim kandungan unburned carbon.
Selain itu, dari hasil uji karakteristik yang KLHK lakukan, FABA dari pembakaran batu bara tidak memenuhi kriteria B3. "Kalau yang pakai stoker boiler industri, suhunya rendah dan pembakarannya tidak sempurna sehingga menghasilkan limbah B3," ujarnya dalam konferensi pers, Senin (15/3).
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan sejauh ini, izin pemanfaatan limbah FABA telah diberikan untuk 52 lokasi. Satu lokasi terdiri dari beberapa unit PLTU.
Proses pengajuan izin pemanfaatannya berada di enam lokasi, melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) KLHK. "Ke depan kemungkinan akan semakin banyak yang mengajukan izin (pemanfaatan FABA)," ujar Rida.
Selama ini, limbah FABA hanya dibiarkan menumpuk dan menganggur. Padahal, di negara maju keberadaannya telah banyak dimanfaatkan untuk bahan baku konstruksi.
Pemanfaatakan FABA nantinya dapat dikerjasamakan dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). “Ini yang menjadi pekerjaan jangka pendek untuk segera diselesaikan. Sudah kami bicarakan dengan teman-teman PUPR," katanya.
Kebutuhan batu bara sepanjang 2019 mencapai 97 juta ton. Potensi jumlah produksi FABA-nya mencapai 10% dari jumlah serapan batu bara atau sebesar 9,7 juta ton.
Hingga sepuluh tahun mendatang, dengan adanya program 35 gigawatt (GW), konsumsi batu bara secara nasional bisa mencapai 153 juta ton per tahun nantinya. Dari penyerapan tersebut, setidaknya potensi produksi FABA dari pengoperasian PLTU ini mencapai 15,3 juta ton.
"FABA yang awalnya kami anggap sebagai burden, kini bertransformasi menjadi berkah, dimanfaatkan berbagai pihak, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM),” ucap Rida.
Kritik Jatam Soal Kebijakan FABA
Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar berpendapat banyak dampak buruk yang ditimbulkan dari FABA. Limbah ini mengandung beragam partikel beracun, mulai dari arsenik, merkuri, dan kromium. Semua logam berat ini berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Apabila berterbangan di udara, FABA berpotensi mengganggu sistem saluran pernapasan manusia. Jika mengalir ke air, limbah ini dapat merusak biota laut, sungai, dan pesisir. Air yang terkontaminasi dapat berubah menjadi asam.
Contoh atas kejadian buruk tersebut, menurut Melky, cukup banyak terjadi di Indonesia. Mulai dari warga di sekitar PLTU Mpanau (Sulawesi Tengah), Cilacap (Jawa Tengah), Indramayu dan Cirebon (Jawa Barat), Celukan Bawang (Bali), Ombilin (Sumatera Barat), Muara Maung dan Muara Enim (Sumatera Selatan), Suralaya (Banten), Ropa (Nusa Tenggara Timur), Motui (Sulawesi Tenggara), dan beberapa daerah lainnya.
"Alih-alih ada penegakan hukum dan pemulihan, KLHK yang berkoar-koar mendukung FABA keluar dari kategori limbah B3, tak berbuat apa-apa," kata dia.
Ia menyebut KLHK justru tampil dengan berbagai macam narasi, membela kepentingan korporasi. Dalam konteks ini, Kementerian tampak memuluskan kepentingan industri tambang batu bara dan PLTU. Bukan menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan terdampak. "Ini sebuah kemunduran dan sesat nalar," ujar Melky.
Ketika FABA masuk kategori limbah B3, pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi sekarang dengan mengeluarkannya dari kategori tersebut. "Semua yang terjadi ini bagian dari desain besar oligarki, yang dengan mudah menunggangi elit politik berkuasa," katanya.
Biaya Pengolahan Limbah PLTU Berkurang
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan karakteristik batu bara Indonesia yang rendah sulfur, membuat kandungan logam beratnya menjadi lebih rendah.
Hal tersebut kemudian yang menjadi dasar KLHK mengeluarkan limbah FABA dari PLTU tidak memenuhi kriteria B3. “Aturan ini akan menurunkan biaya pengolahan limbah PLN dan IPP (produsen listrik swasta), serta menghindari tumpukan ash (debu)," kata Fabby.
Namun, perlu adanya aturan lebih rinci menyangkut pengelolaan limbah dan pemanfaatannya. Pemerintah harus melakukan pengawasan berkala terhadap kadar limbah PLTU. Debu FABA yang tercampur air dapat mencemari tanah dan air. Kalau terbang ke udara, partikelnya sangat berbahaya bagi manusia.
Dalam jangka panjang, menurut Fabby, KLHK dapat lebih tegas menerapkan ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15 Tahun 2019 tentang baku mutu emisi PLTU. Dengan begitu, dampak lingkungan dan konsumsi batu bara dapat berkurang.
Demikian pula dengan volume debu dan kontaminan lainnya. “Pengurangan PLTU secara bertahap juga menjadi pilihan yang tidak terelakkan untuk mendorong percepatan transisi energi," kata dia.
Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) berpendapat FABA ibarat tailing (limbah) pada proses pertambangan mineral. Ketua Umum METI Surya Darma mengatakan pernah ada pengujian kandungan limbah FABA di PLTU dan menunjukkan limbahnya masih di bawah ambang batas.
Hasil pengujian lethal dose-50 (LD50) dan toxicity leaching procedure (TCLP) itu yang kemudian Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sampaikan ke pemerintah.
FABA dari PLTU terbukti bukan limbah beracun. Namun, dengan pemakaian batu bara mencapai jutaan ton untuk membangkitkan listrik sampai 38 gigawatt, menurut Surya, limbah padat yang dihasilkan akan luar biasa banyak.
Beberapa negara, seperti di Amerika Serikat, Tiongkok, India, Jepang, dan Vietnam, menyatakan FABA adalah non-B3. Bagi Indonesia yang terpenting adalah optimalisasi pemanfaatannya. "Karena limbah FABA dari PLTU itu cukup besar dan pasti akan membebani pengembang dalam pengelolaan limbah B3," ujarnya.
Di sisi lain, negara ini sebenarnya sudah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sesuai Perjanjian Paris 2015. Angka penurunannya sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% mendapat bantuan internasional pada 2030.
Surya mengatakan dengan semua kondisi itu pemerintah sebaiknya tidak lagi membangun pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang tinggi emisi. “Cukup sudah PLTU-nya dan harus ada strategi coal phase-out,” katanya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia berpendapat PP Nomor 22 Tahun 2021 masih sangat terbatas. Kebijakan itu hanya menyasar pembakaran batu bara di PLTU. Hasil pembakaran batu bara dari tungku sektor industri tetap termasuk limbah B3.
Padahal, menurut Hendra, banyak kajian menunjukkan bahwa proses pembakaran batu bara PLTU dan tungku Industri tidak berbeda. "Seharusnya dibuka semua. Masyarakat tidak perlu khawatir karena (FABA) bisa dimanfaatkan," ujarnya.