Semangat pemerintah menggenjot target lifting satu juta barel minyak mentah per hari pada 2030 belum padam. Sekalipun target tersebut ditetapkan di tengah persaingan energi yang semakin ketat.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan industri minyak dan gas bumi tengah memiliki pekerjaan besar guna mencapai target satu juta barel. Sementara transisi energi menuju era energi baru yang bersih dan ramah lingkungan terus berjalan.
Transisi ini terlihat dari persentase pemanfaatan energi, terutama dari sektor energi baru dan terbarukan yang terus meningkat tiap tahunnya. Sementara porsi bauran energi fosil dari minyak dan gas bumi semakin menurun.
"Indonesia telah menandatangani perjanjian Paris. Meski persentase migas turun tapi secara volume justru meningkat, seiring dengan kebutuhan energi yang terus meningkat," ujar Dwi dalam webinar LKJ SKK Migas & KKKS 2021, Rabu (28/4).
Menurut Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang rencana umum energi nasional, proyeksi kebutuhan energi Indonesia pada 2030 untuk minyak bumi diperkirakan 112,9 juta ton setara minyak (million ton oil equivalent/MTOE), gas bumi 109,1 MTOE, batu bara 147,5 MTOE, dan EBT sebesar 130,5 MTOE.
Sedangkan untuk 2050 komposisinya akan menjadi sebagai berikut, minyak bumi 197,7 MTOE, gas bumi 242,9 MTOE, batu bara 255,9 MTOE, dan EBT 315,7 MTOE.
Meski begitu, guna mengejar target lifting minyak satu juta barel per hari dan gas 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030, dibutuhkan investasi yang cukup besar. "Kami perkirakan industri hulu migas dapat menarik investasi atau Indonesia membutuhkan investasi dengan total US$ 187 miliar," kata Dwi.
Selain menarik investasi, target tersebut juga dapat memberikan efek pengganda berupa gross revenue senilai US$ 371 miliar dengan pendapatan negara sebesar US$ 131 miliar pada 2030. Hal ini pun akan berdampak baik bagi perekonomian nasional dan regional.
Namun, terdapat beberapa tantangan di sektor ini yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk segera dituntaskan. Beberapa di antaranya seperti rumitnya perizinan, tumpang tindih peraturan antara pemerintah pusat dan daerah, rezim fiskal yang kurang menarik, dan lain sebagainya.
Lifting Migas Kuartal I 2021 di Bawah Target
Adapun realisasi lifting minyak per Maret 2021 baru mencapai 676,2 ribu barel per hari (BOPD) atau 96% dari target 705 ribu BOPD. Hal ini seiring dengan pandemi yang menghambat kegiatan di sektor hulu migas.
SKK Migas menuding kinerja lifting migas yang rendah karena pembentukan subholding hulu Pertamina yang menghambat perusahaan dalam membuat keputusan akhir investasi (final investment decision/FID). Hal ini menyebabkan capaian kinerja Pertamina di sektor hulu migas rendah.
Berdasarkan data kuartal pertama 2021 SKK Migas, produksi minyak Pertamina EP hanya mencapai 86,5% dari target atau hanya 73.503 barel per hari (bph), lebih rendah dari target di dalam APBN 85.000 bph.
Kemudian Pertamina Hulu Energi OSES, realisasi produksi minyaknya baru mencapai 89% dari target, yakni 24.030 bph dari target 27.000 bph, serta PT Pertamina Hulu Kalimantan Timur yang realisasi produksinya hanya 83,6% dari target, atau hanya sebesar 8.779 bph dari target 10.500 bph.
Sementara itu, untuk realisasi lifting gas bumi Pertamina EP mencapai 699 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), sedikit di bawah target 700 MMSCFD atau 99,8%. Padahal, pembentukan subholding ini sebelumnya diharapkan dapat menggenjot kegiatan eksplorasi dan produksi dengan mempercepat proses investasi.
"Jadi permasalahan produksi lifting di kuartal I ini karena 2020 kegiatan jauh menurun karena pandemi dan penurunan investasi," ujar Dwi dalam Konferensi Pers Kinerja Hulu Migas Kuartal 1 2021 secara virtual, Senin (26/4).
Namun Pertamina membantah bahwa pembentukan subholding hulu menghambat kinerja sektor hulu migas. Perusahaan energi pelat merah ini mengklaim perubahan organisasi di hulu menjadikan kegiatan di sektor tersebut lebih adaptif, lincah, dan efisien.
"Melalui subholding hulu, sinergi seluruh wilayah kerja melalui regionalisasi justru dapat meningkatkan keunggulan operasional, mempercepat proses pengembangan bisnis serta pengambilan keputusan karena berkurangnya birokrasi," kata Corporate Secretary Subholding Upstream Pertamina Whisnu Bahriansyah.
Terkait persoalan keputusan akhir investasi (Final Investment Decision/FID), Whisnu menegaskan Pertamina telah mengikuti proses-proses dan tahapan-tahapan sesuai dengan standar industri. Terutama untuk memastikan bahwa investasi yang dilakukan dapat dilaksanakan dengan OTOBOSOR (On Time, On Budget, On Schedule, On Return).
"Pada organisasi baru, terdapat tim yang berdedikasi menangani hal ini untuk menjamin kualitas proyek yang baik dengan proses perencanaan yang efisien," Whisnu kepada Katadata.co.id, Selasa (27/4).