Tsunami Covid-19 India, Kenaikan Produksi Batu Bara RI Perlu Ditunda

ANTARA FOTO/Makna Zaezar/wsj.
Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Barito, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Sabtu (13/6/2020). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi produksi batu bara hingga Mei 2020 mencapai 228 juta ton, atau 42 persen dari total target produksi nasional tahun 2020 yaitu 550 juta ton.
3/5/2021, 18.52 WIB

Sejumlah pengamat menyarankan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menunda penambahan kuota produksi batu bara tahun ini. Hal ini seiring dampak tsunami Covid-19 yang tengah melanda India.

Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso mengatakan bahwa India merupakan konsumen batu bara Indonesia yang cukup signifikan. Sehingga, krisis kesehatan yang terjadi di negara itu diprediksi akan mempengaruhi harga batu bara.

"Sebaiknya pemerintah menahan dulu peningkatan ekspor karena kontraksi ekonomi (India) pasti terjadi, sampai kondisi wabah Covid-19 ini bisa diprediksi," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (3/5).

Ketua Umum Indonesian Mining Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo memahami kondisi ekonomi akibat pandemi Covid-19 mendorong pemerintah untuk meningkatkan kuota produksi batu bara untuk ekspor sebesar 75 juta ton untuk meningkatkan pendapatan devisa dan sekaligus Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Menurut dia tambahan 75 juta ton produksi, relatif akan mudah diakomodir oleh pelaku usaha tambang. Apalagi ruang untuk menambah produksi pun dapat dilakukan secara cepat, mengingat rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB) dapat direvisi pada April kemarin.

Namun yang menjadi soal yakni, penambahan kuota produksi nasional tidak hanya mempengaruhi pasar domestik, tetapi juga pasar global. "Indonesia sebagai eksportir terbesar batu bara dunia. Kenaikan 75 juta ton bukan volume yang kecil," ujarnya.

Dari sisi kebutuhan berbagai negara importir, tambahan 75 juta ton, diharapkan sebagian besar terserap ke pasar Tiongkok, di saat pasar India relatif tertekan akibat lonjakan kasus Covid-19 yang luar biasa akhir-akhir ini.

Singgih mengatakan bahwa keputusan menambah kuota produksi batu bara sebesar 75 juta ton sebagai keputusan politik yang harus diterima di tengah kondisi keuangan negara yang seret akibat pandemi Covid-19. Namun jangan sampai, keputusan tersebut justru akan menekan harga batu bara.

"Kementerian ESDM juga memiliki pekerjaan rumah untuk mengontrol produksi batu bara pada batasan sekitar 625 juta ton. Produksi nasional bisa naik jauh di atas ketetapan pemerintah jika tidak dilakukan kontrol," katanya.

Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli mengatakan tsunami Covid-19 bisa berdampak pada turunnya permintaan energi di negara berpenduduk 1,36 miliar jiwa itu. Apalagi jika lockdown kembali diterapkan seperti pada April-Mei 2020 lalu.

Turunnya permintaan energi akan mempengaruhi volume impor batu bara India. Ini akan memukul ekspor negara produsen batu bara utama dunia seperti Australia, Afrika Selatan, termasuk Indonesia.

Namun, beberapa produsen batu bara peringkat rendah (low rank coal) menyatakan belum melihat adanya penurunan kebutuhan dan permintaan batu bara jenis ini.

"Untuk itu pemerintah dan produsen batu bara dapat melakukan pengecekan kru kapal dengan ketat untuk ekspor ke India. Sehingga proses pengiriman tidak sampai terganggu," ujarnya.

Sementara dari sisi harga Rizal memprediksi harga batu bara Indonesia belum tentu terkoreksi banyak imbas krisis kesehatan di India. Ini lantaran tingginya permintaan batu bara dari Tiongkok dan domestik. Indonesia pun masih diuntungkan dari pemboikotan batu bara Australia ke Tiongkok.

"Selama tingkat permintaan tiongkok masih tinggi seperti saat ini, maka tekanan akibat pengurangan impor dari India masih bisa teratasi," katanya.

Simak perkembangan harga batu bara Indonesia pada databoks berikut:

Reporter: Verda Nano Setiawan