Pemerintah mempunyai wacana untuk menghubungkan sistem kelistrikan antarpulau di Indonesia, yang dikenal dengan konsep Nusantara Super Grid. Meski demikian, proyek ini akan membutuhkan investasi yang cukup besar.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa biaya investasi ini tergantung oleh banyak faktor. Seperti pemilihan teknologi yang akan digunakan yakni saluran transmisi tegangan tinggi arus bolak-balik (high voltage alternating current/HVAC), atau arus searah (HVDC).
Kemudian jarak yang akan tersambung, besar daya yang ditransmisikan, hingga kondisi lingkungan. "Untuk grid nusantara, jika menggunakan kabel laut untuk interkoneksi antarpulau dengan teknologi HVDC, maka biaya investasinya sekitar Rp 3,6-4,4 miliar per kilometer (km)," ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (8/7).
Sedangkan berdasarkan kajian IESR yang bertajuk Deep Decarbonization of Indonesia Energy System, untuk membangun interkoneksi antarpulau membutuhkan investasi US$ 100 miliar atau lebih dari Rp 1.450 triliun hingga 2050.
Fabby menambahkan bahwa pembangunan interkoneksi listrik antarpulau adalah keniscayaan. Pasalnya, konsep ini dapat meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) dan mengoptimalkan pemanfaatan energi bersih yang tersebar di berbagai kepulauan.
Meski begitu, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi sebelum interkoneksi antar pulau ini dapat dibangun. Di antaranya seperti rencana pengembangan pembangkit, khususnya pembangkit energi terbarukan dalam jangka panjang.
Simak databoks berikut:
Kemudian perkiraan kebutuhan energi di setiap pulau dalam jangka panjang, rencana optimasi sumber daya energi terbarukan setempat, identifikasi kebutuhan berinvestasi, skema pembiayaan, dan pihak mengelola grid ini. Sehingga diperlukan kembali perencanaan jangka panjang sebelum masuk ke fase studi awal.
"Jadi yang paling awal perlu dipastikan dulu apakah grid Nusantara diperlukan, lalu dikaji kelayakan teknis dan ekonomisnya," kata Fabby.
Peneliti dan pakar energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Pekik Argo Dahono mengatakan bahwa interkoneksi antar pulau di Indonesia akan mendorong pengembangan bauran EBT. Konsep ini juga dapat membuat biaya penyediaan tenaga listrik lebih murah.
Beberapa negara Eropa yang pemanfaatan EBT-nya cukup tinggi, telah mengadopsi super grid. Misalnya, sistem kelistrikan dari London hingga Moskow yang saling terhubung dapat saling berbagi listrik. Sama halnya dengan Tiongkok dan India. "Sehingga masalah intermitensi bisa diatasi tanpa menggunakan energy storage," ujarnya.
Namun dalam mempersiapkan super grid, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) menjadi pembangkit energi terbarukan yang pertama kali digenjot. Pembangkit ini diperuntukkan membantu EBT yang bersifat intermiten atau tidak tersedia setiap saat, seperti tenaga surya dan angin.
"Itu sebabnya saya minta yang digenjot awal di Indonesia adalah PLTA dan panas bumi, keduanya bisa membantu mengatasi fluktuasi seperti energi angin dan matahari," ujarnya.