Pertamina menyatakan butuh dukungan pemerintah guna menjalankan proyek gasifikasi batu bara yang mengubah batu bara menjadi dimethyl ether (DME). Dukungan tersebut salah satunya berupa kepastian hukum bagi investor yang tergabung dalam proyek ini.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan bahwa dalam pengembangan energi baru maka dukungan penuh dari pemerintah sangat diperlukan. Terutama bagi investor yang akan terjun dalam proyek gasifikasi ini.
"Case in law jangan sampai ada perubahan regulasi yang membuat proyek ini ada berisiko disetop di tengah jalan karena batu bara identik dengan energi yang kurang bersih," kata Nicke dalam diskusi Investor Daily summit secara virtual, Rabu (14/7).
Untuk itu, menurut Nicke diperlukan jaminan atau kepastian hukum bagi investor yang akan menginvestasikan dananya di Indonesia. Mengingat investasi yang dibutuhkan untuk proyek ini cukup besar.
Saat ini Pertamina tengah memulai pengerjaan proyek DME bekerja sama dengan PT Bukit Asam dan Air Product. Kehadiran produk hilirisasi batu bara itu diharapkan nantinya dapat menggantikan LPG yang 70% masih produk impor.
Direksi baru PT Bukit Asam Tbk (PTBA) bakal memprioritaskan proyek gasifikasi batu bara menjadi DME. Pemerintah juga sudah menetapkan pabrik gasifikasi batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, menjadi proyek strategis nasional. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020.
"Pertama DME harus segera eksekusi. Kami akan mempercepat proyek gasifikasi," kata Direktur utama PTBA Suryo Eko Hadianto beberapa waktu lalu.
Meski begitu, perusahaan membutuhkan modal yang cukup besar untuk merealisasikan proyek ini. Guna mencari dana yang tidak sedikit tersebut, perusahaan akan mendongkrak kapasitas produksi eksisting.
PTBA, Pertamina, dan Air Products optimistis proyek pengembangan DME batu bara bisa berjalan sesuai rencana untuk mulai beroperasi pada kuartal II-2024. Perjanjian kerja sama atau Cooperation Agreement antara PTBA, Pertamina, dan Air Products Chemical Inc juga sudah ditandatangani pada 11 Februari 2021.
Proyek pengembangan DME atau gasifikasi batu bara juga menjadi cara Pertamina meningkatkan portofolio energi hijaunya. Perusahaan energi pelat merah ini menargetkan portofolio tersebut bisa mencapai 17% pada 2030.
Meski demikian proyek ini bukannya tanpa tantangan. Menurut studi lembaga kajian asal Amerika Serikat (AS), Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), proyek itu terlalu mahal dan tidak sesuai dengan tujuan pemerintah. Hitungannya, biaya produksi DME dua kali lipat lebih mahal daripada impor LPG.
Total biaya membangun fasilitas produksinya adalah Rp 6,5 juta per ton atau US$ 470 per ton. Angka ini hampir dua kali lipat dari biaya yang pemerintah keluarkan untuk mengimpor elpiji.
Karena itu, peneliti sekaligus analis keuangan IEEFA Ghee Peh mengatakan menggantikan elpiji dengan DME tidak masuk akal secara ekonomi. Lembaga itu memperkirakan proyek gasifikasi Bukit Asam dapat menggerus penghematan impor elpiji hingga Rp 266,7 miliar atau US$ 19 juta.
Meski demikian Bukit Asam menegaskan bahwa proyek ini sesuai dengan arahan pemerintah yang sudah melalui studi kelayakan yang menjadi dasar untuk mengerjakan proyek. Simak databoks berikut: