Rencana pengembagan dua proyek gas strategis Indonesia, yakni Lapangan Abadi Blok Masela dan Indonesia Deepwater Development (proyek laut dalam/IDD), hingga kini belum menemui kejelasan.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai kondisi tersebut merupakan tantangan. Baik untuk pemerintah maupun kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang mengerjakan dua proyek yang masuk dalam daftar strategis nasional itu.

Menurut dia pengerjaan proyek Abadi Blok Masela akan semakin sulit setelah Royal Dutch Shell memutuskan hengkang dari proyek itu pada pertengahan 2020. Sama halnya dengan proyek IDD selepas perginya Chevron.

"Terkait dengan Blok Masela, saya kira ini benar-benar kurang menguntungkan bagi kita karena proyek ini akan kembali mundur onstream-nya," kata Mamit kepada Katadata.co.id, Kamis (22/7).

Dengan molornya pekerjaan ini, potensi produksi dan penerimaan negara juga akan menjadi terganggu. Belum lagi, ke depan beberapa proyek yang sama akan mulai berproduksi (onstream), yang akan membuat pasokan LNG di pasar berlimpah. Sehingga persaingan harga akan semakin ketat.

Simak databoks berikut:

Meski demikian, dia optimistis kedua proyek ini akan berjalan sekalipun dalam kondisi yang penuh tantangan. "Saya kira optimisme harus tetap kita bangun meskipun ini akan sulit apalagi di tengah pandemi seperti saat ini," katanya.

Para investor akan melakukan sejumlah evaluasi dan efisiensi dalam portofolio mereka. Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan proyek-proyek raksasa tersebut membutuhkan kerja sama beberapa investor.

"Seperti Blok Masela, Inpex tidak akan bisa menanggung 100% biaya dan risiko pengembangan proyek itu. Oleh sebab itu, masih cukup panjang bagi Inpex untuk dapat mengembangkan proyek Abadi Blok Masela," ujarnya.

Namun dia khawatir investor eksisting akan hengkang dari proyek tersebut jika pengembangannya tidak menunjukkan progres yang signifikan.

Menurut Moshe pertimbangan investor untuk mau masuk ke dalam proyek ini tak hanya berkutat pada persoalan harga minyak yang terus naik. Tapi investor masih berhati-hati, terutama terhadap stabilitas harga minyak dan ekonomi dunia.

"Sekali lagi saya ingatkan bahwa kita ini bersaing dengan negara-negara lain, ini harus dipetakan secara cermat, posisi kita dimana dari sisi kemudahan berbisnis, insentif, jumlah cadangan, dan biaya operasional," katanya.

Seperti diketahui, beberapa waktu lalu Chevron menyatakan hengkang dari proyek IDD karena proyek ini disebut tidak dapat bersaing dengan portofolio global perusahaan. Sedangkan Eni yang disebut berminat menggantikan Chevron sebagai operator proyek masih belum jelas.

Hal ini lantaran rapor kinerja Eni yang merah. Moshe menilai keputusan untuk masuk ke proyek IDD akan membutuhkan belanja modal dan operasional yang banyak. Oleh karena itu pemerintah harus menggelontorkan insentif yang signifikan untuk mengukuhkan minat ENI.

"Misalnya, tax holiday, perubahan bagi hasil (split), accelerated depreciation, dan harga kewajiban untuk dalam negeri (DMO) yang menarik. Dari segi finansial akan sangat berat, apalagi ENI kemungkinan akan menanggung lebih dari 80% biaya di awal proyek," ujarnya. "Keekonomian lapangan yang perlu ditekankan, IDD ini proyek mahal".

Shell juga memutuskan melepas hak partisipasi alias participating interest (PI) di Blok Masela lantaran investasi di negara lain dinilai lebih menguntungkan daripada di Indonesia.

Reporter: Verda Nano Setiawan