Program konversi diesel ke gas pada pembangkit listrik diprediksi sulit terealisasi. Pasalnya proyek ini terkendala pada keekonomian dengan harga gas yang telah dikunci di angka US$ 6 per juta British thermal unit (mmbtu). Beberapa opsi dapat dipertimbangkan agar proyek ini bisa lebih mulus.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai proyek ini perlu menggunakan pendekatan business to business (B-to-B), khususnya bagi Perusahaan Gas Negara (PGN) yang mendapatkan penugasan ini. Pasalnya PGN memiliki kepemiliki publik yang cukup besar.
"Pemerintah bisa saja merevisi kebijakan harga gas untuk sektor kelistrikan untuk program ini. Sehingga, proyek tetap jalan tanpa harus menggerus profit PGN yang telah terkunci dengan kebijakan harga gas bumi," ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (30/8).
Alternatif lainnya, pemerintah bisa memberikan subsidi tambahan atau penyertaan modal negara (PMN) kepada PLN atas tanggungan selisih harga gas yang besar yang ditetapkan PGN. Dengan begitu kedua belah pihak tetap dapat melanjutkan proyek tersebut.
"Karena PLN 100% sahamnya masih dimiliki negara sehingga prosesnya lebih mudah dibanding menyuntik PMN ke PGN akan mendapat protes dari investor publik karena mengakibatkan dilusi kepemilikan saham," kata Bhima.
Opsi lainnya yakni, jumlah PLTD yang dikonversi ke gas diberikan perpanjangan waktu atau jumlahnya bisa dikurangi untuk sementara. "Memang selalu dilematis antara BUMN yang berorientasi pada keuntungan dengan PSO. Tapi titik win-win tersebut masih mungkin dicapai," katanya.
Menurut data Kementerian ESDM, PLTD masih menyumbang produksi listrik cukup besar yakni mencapai 4,78 gigawatt (GW). Simak databoks berikut:
Ekonom Senior Center Of Reform on Economics Yusuf Rendy menilai ada beberapa kemungkinan yang dapat dilakukan pemerintah berkaitan dengan profit BUMN. Salah satunya yakni mengubah acuan harga gas untuk sektor kelistrikan.
"Acuan ini kemudian perlu dinegosiasikan dengan PGN dan PLN agar terjadi titik temu harga gas yang sesuai. Atau, pemerintah dapat memberikan PGN hak penuh, misalnya untuk pemenuhan gas pada kawasan industri baik itu eksisting maupun yang baru dengan harga keekonomian tertentu," ujarnya.
Dengan demikian, meski ada potensi kerugian dari program konversi ini, diharapkan bisa mengambil laba dari pos lain untuk menutupi pos yang mengalami kerugian. Opsi kedua, menurut Rendy, adalah menggunakan energi alternatif.
"Penggunaan EBT perlu dimasukan dalam opsi konversi ini. Opsi satu dan kedua bisa dipilih pemerintah selama masa tunggu mendorong masuknya investasi EBT yang kemudian bisa digunakan untuk program konversi," ujarnya.
Di samping itu, pemerintah juga bisa mendorong penggunaan PMN kepada PGN untuk program diversifikasi tersebut. Meskipun menurut dia hal ini tidak menguntungkan karena akan melibatkan APBN yang saat ini telah menanggung beban belanja yang tidak sedikit.
Proyek Konversi Tetap Jalan
Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Ida Nurhayatin Finahari memastikan program konversi 52 PLTD milik PLN masih berjalan sesuai rencana.
"Masih on going. Detailnya PLN yang update. Sejauh ini tidak ada masalah berkaitan dengan hitung-hitungan keekonomian harga gas bumi. Setahu saya tidak ada hambatan," katanya.
Kepala Divisi Monetisasi Minyak & Gas SKK Migas, Agus Budiyanto, mengatakan realisasi program konversi ini akan meringankan keuangan PLN dengan adanya penghematan dari penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang diganti dengan gas dari PGN.
Namun di saat yang sama, keuangan PGN akan terbebani karena harga gas yang dipatok pemerintah. "Pembatasan harga (gas) ini yang agak rancu. Kepemilikan publik di PGN cukup besar yang berorientasi profit. Ini berbenturan, karena penugasan itu menggerus profit," ujar dia beberapa waktu lalu, Kamis (26/8).
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan sulit membahas keekonomian proyek ini ketika harga gas sudah dikunci, sedangkan harga gas di hulu sudah relatif tinggi.
Menurut dia proyek tersebut harus dilihat secara ekonomi makro terkait konversi bahan bakar minyak (BBM) ke gas. Beberapa variabel harus ditambahkan, misalnya potensi penurunan impor BBM dengan adanya gasifikasi PLTD. "Jadi anggaran fiskal lebih baik, subsidi listrik lebih murah. Kalau hanya B-to-B, hitungan ini tidak muncul,” ujarnya.