SKK Migas mengklaim pemberian insentif kepada beberapa wilayah kerja hulu migas sejak 2020 telah menunjukkan hasil positif. Cadangan migas Indonesia bertambah 465,5 juta barel setara minyak dan menyumbang penerimaan negara minimal US$ 2,9 miliar atau Rp 41 triliun.
Pasalnya, insentif mendorong investor untuk segera melakukan proses lapangan migas dan memutakhirkan cadangan melalui persetujuan rencana pengembangan (plan of development) optimasi pengembangan lapangan (OPL) dan optimasi pengembangan lapangan-lapangan (OPLL).
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, insentif meningkatkan daya saing investasi dan iklim investasi hulu migas Indonesia menjadi lebih menarik. Insentif juga menjaga produksi migas pada tahun-tahun mendatang karena insentif juga meningkatkan cadangan migas.
“Insentif nyata-nyata berdampak positif karena menambah penerimaan negara minimal Rp 41 triliun, serta mampu menjadi katalis positif bagi industri hulu di tengah pandemi Covid-19 yang mempengaruhi kinerja operasional hulu migas,” ujarnya seperti dikutip dari laman SKK Migas, Jumat (3/9).
Pemberian insentif hulu migas juga mendongkrak realisasi investasi pemboran dan fasilitas produksi sebesar US$ 3,5 miliar atau sekitar Rp 50 triliun, yang meliputi pemboran 88 sumur pengembangan, 15 sumur injeksi, 32 reaktivasi sumur, 1 sumur step out dan konstruksi serta pemasangan fasilitas produksi.
Sedangkan manfaat yang diterima Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) adalah adanya peningkatan pendapatan KKKS sebesar US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 21,75 triliun. Simak realisasi pendapatan negara dari minyak bumi pada databoks berikut:
Oleh karena itu, kata Dwi, pihaknya bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM akan terus mengkaji insentif-insentif lain yang dapat diberikan untuk mendorong kinerja industri hulu migas lebih baik lagi.
Menurut dia, isu utama pembahasan insentif hulu migas bukan pada pengorbanan hak negara, melainkan bagaimana agar potensi produksi hulu migas dapat dimaksimalkan. Karena sebagai industri berisiko tinggi dan membutuhkan investasi besar, perlu ada kebijakan yang mampu menarik investor.
“Indonesia memiliki 128 cekungan. Yang sudah berproduksi baru 20 cekungan. Untuk mengusahakan cekungan lainnya, dibutuhkan pengkondisian agar cekungan yang belum berproduksi dapat segera dilakukan kegiatan,” ujarnya.
Hasil studi juga menyebutkan bahwa setiap investasi di hulu migas sebesar US$ 1 miliar akan menciptakan multiplier effect dalam menciptakan lapangan kerja baru dan melibatkan sekitar 100 ribu lapangan pekerjaan. Insentif yang telah diberikan pemerintah juga telah menyerap sekitar 350 ribu tenaga kerja di industri hulu migas .
Kemudian Dwi menambahkan bahwa kata kunci dalam upaya peningkatan produksi migas adalah bagaimana meningkatkan daya saing, yang kemudian dengan investasi yang masuk dimasa yang akan datang akan menghasilkan pendapatan.
“Dari sini, kemudian potensi penerimaan negara yang belum diterima karena dijadikan insentif, maka seiring waktu potensi tersebut dapat direalisasikan ditambah tambahan penerimaan yang baru,” kata Dwi.
Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah menetapkan bahwa kebutuhan energi minyak dan gas akan terus meningkat dimasa yang akan datang. Untuk energi minyak, di tahun 2050 RUEN memperkirakan dibutuhkan sekitar 3,97 juta barel.
Memperhatikan produksi rata-rata minyak pada kisaran 706 ribu barel ditahun lalu, maka terdapat selisih yang sangat besar yang tentunya berdampak pada meningkatnya impor migas dan menjadi beban bagi negara. Apalagi target produksi minyak 1 juta barel dan gas sebesar 12 BSCFD belumlah mencukupi kebutuhan migas nasional.
“Namun dengan peningkatan produksi migas dari posisi saat ini, maka dapat mengurangi gap tersebut, memberikan peningkatan penerimaan negara yang dapat digunakan sebagai modal untuk membangun Indonesia,” kata Dwi.