Kelistrikan Asia Didominasi PLTU, Adaro: Prospek Batu Bara Masih Cerah

ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/hp.
Foto udara tempat penumpukan sementara batu bara di Muarojambi, Jambi, Selasa (21/4/2020).
6/9/2021, 18.31 WIB

PT Adaro Energy Tbk optimis permintaan batu bara untuk sektor kelistrikan masih memiliki prospek cerah sekalipun di tengah transisi menuju energi baru terbarukan (EBT). Pasalnya, banyak proyek PLTU di Asia yang saat ini masih dalam tahap konstruksi.

Sekretaris Perusahaan Adaro Mahardika Putranto menyadari aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan dan target netral karbon akan berpengaruh pada permintaan batu bara secara global. Namun dengan banyaknya PLTU yang masih dibangun, tingkat permintaan batu bara masih akan tetap tinggi.

"Dengan kebutuhan listrik dan baja yang masih naik seiring naiknya pertumbuhan ekonomi, peningkatan batu bara masih akan solid dan batu bara masih akan mendominasi negara negara Asia," ujarnya, dalam paparan publik secara virtual, Senin (6/9).

Misalnya saja di Vietnam, aktivitas impor batu bara oleh negara tersebut dipekirakan akan terus mengalami kenaikan. Pasalnya, masih ada 7,3 gigawatt (GW) PLTU baru yang akan beroperasi hingga 2025. Sementara, di Indonesia kapasitas terpasang PLTU saat ini telah mencapai 27 GW, dan masih akan bertambah sebesar 15 GW.

Sehingga, rencana Tiongkok, yang merupakan pasar ekspor batu bara terbesar Indonesia, untuk menggenjot gas dan energi terbarukan dalam kelistrikan mereka yang dibarengi dengan teknologi penurunan emisi, tidak terlalu signifikan menurunkan permintaan batu bara.

Simak negara-negara dengan kapasitas PLTU terbesar di dunia pada databoks berikut:

Adaro pun tahun ini menargetkan produksi batu bara sebesar 52-54 juta ton. Mahardika mengatakan bahwa perusahaan optimistis dapat merealisasikan target tersebut.

Sementara, guna menekan biaya, Adaro akan mengurangi penggunaan bahan bakar diesel dan menggunakan listrik dari panel surya. "Kami kontrol, kami usahakan kontrol. Keunggulan kami dalam efisiensi biaya adalah kunci dari kinerja kami," katanya.

Pada paruh pertama tahun ini, perusahaan berkode emiten ADRO ini mencatatkan laba inti sebesar US$ 330 juta atau sekitar Rp 4,7 triliun, naik 45% secara tahunan (year on year/yoy) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Adaro juga mencatatkan EBITDA sebesar US$ 635 juta (Rp 9 triliun), naik 36% yoy, yang ditopang naiknya pendapatan bersih sebesar 15% yoy menjadi US$ 1,56 miliar (Rp 22,2 triliun). Kenaikan tersebut utamanya disebabkan karena kenaikan harga jual rata-rata (ASP) batu bara sebesar 25%.

Reporter: Verda Nano Setiawan