Harga batu bara yang terus melambung membuat produsen batu bara di dalam negeri ramai-ramai mengubah strateginya di sisa tahun ini. Beberapa di antaranya yaitu PT Arutmin Indonesia, PT Adaro Energy, dan PT Bukit Asam.
Di pasar ICE Newcastle (Australia) harga emas hitam ini tercatat berada di level US$ 176,55 per ton pada Rabu (8/9) atau naik 0,89% dibandingkan hari sebelumnya. Bahkan harga batu bara nyaris menembus US$ 180 pada Jumat (3/9) di level US$ 179 per ton.
General Manager Legal & External Affairs Arutmin Ezra Sibarani mengatakan pihaknya akan fokus menjaga level produksi yang stabil di tengah kenaikan harga batu bara. "Ini agar pasokan batu bara ke PLN dan pelanggan lainnya tak terganggu," ujarnya kepada Katadata.co.id.
Arutmin sempat masuk dalam daftar 34 produsen batu bara yang terkenasanksi larangan ekspor karena dianggap tidak memenuhi kewajiban pasokan batu bara untuk PLN atau PLN Batu bara periode 1 Januari hingga 31 Juli 2021.
Meski demikian, Kementerian ESDM akhirnya membuka kembali keran ekspor setelah perusahaan memenuhi komitmen penjualan batu bara untuk kepentingan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO). "Sudah sesuai dengan komitmen kontrak kami dengan PLN," katanya.
Sedangkan produsen batu bara pelat merah, Bukit Asam, menyatakan akan menggenjot ekspornya hingga akhir tahun ini untuk menangkap momentum kenaikan harga. Apalagi perusahaan telah memenuhi komitmen pasokan pasar domestik (domestic market obligations/DMO) di paruh pertama tahun ini.
Direktur Pengembangan Usaha Bukit Asam, Fuad Iskandar Zulkarnain menyampaikan perusahaan tak akan melupakan komitmennya terhadap kebijakan batu bara untuk DMO.
"Fokus kami, apalagi momentum harga baik, kami dorong ekspor, dengan tidak melupakan komitmen ke pasar domestik hingga akhir tahun," katanya, Senin (6/9).
Adapun produksi batu bara PTBA hingga semester I 2021 telah mencapai 13,3 juta ton. Angka tersebut naik 11% jika dibandingkan realisasi produksi batu bara perusahaan di tahun sebelumnya yang hanya 11,3 juta ton.
Hingga Juni 2021, porsi penjualan batu bara domestik Bukit Asam 63% dari total produksi 13,3 juta ton. Ini setara 8,4 juta ton atau sekitar 28% dari total target produksi tahun ini sebesar 30 juta ton. Artinya Bukit Asam telah memenuhi kewajiban DMO-nya dan dapat menggenjot ekspor di sisa tahun ini.
Meski demikian PTBA menargetkan porsi ekspor batu bara tahun ini hanya sebesar 47% dan sisanya 53% untuk pasar domestik. "Jadi secara bulan berjalan, masih ada sejumlah juta ton yang masih perlu kami kirim ke PLN termasuk domestik non-PLN," kata Fuad.
Produsen batu bara lainnya, Adaro Energy, menyatakan akan menyesuaikan produksi dengan perkembangan pasar. Head of Corporate Communication Adaro Febrianti Nadira mengatakan bahwa kegiatan operasi akan berjalan sesuai rencana dengan terus berfokus untuk mempertahankan margin yang sehat dan kontinuitas pasokan ke pelanggan.
"Kami akan terus memaksimalkan upaya untuk fokus terhadap keunggulan operasional bisnis inti, meningkatkan efisiensi dan produktivitas operasi, menjaga kas dan mempertahankan posisi keuangan yang solid," katanya.
Reli Harga Batu Bara Tak Sekencang Akhir Tahun 2020
Ketua Umum Indonesian Mining Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan bahwa harga batu bara saat ini memang dalam kondisi prima. Pasalnya terjadi kenaikan kebutuhan dari Tiongkok dan Australia, serta dampak kenaikan biaya kargo.
Selain itu, kondisi cuaca di beberapa tambang yang diproyeksikan mengganggu produksi juga menjadi faktor yang mendongkrak harga. Namun, Singgih menilai laju kenaikan harga batu bara tahun ini tak akan sama seperti pertengahan Desember 2020 lalu.
"Saya melihat kenaikan saat ini tidak akan sama besar dan cepatnya laju kenaikan dari pertengahan Desember 2020 sampai US$ 178 per ton yang ada di market saat ini," ujar Singgih kepada Katadata.co.id, Kamis (9/9).
Sedangkan di dalam negeri, Kementerian ESDM menetapkan harga batu bara acuan (HBA) pada September 2021 di level US$ 150,03 per ton. Angka tersebut naik US$ 19,04 per ton dibandingkan HBA Agustus 2021 sebesar US$ 130,99 per ton.
Harga batu bara sempat melandai pada Februari-April 2021, tetapi mencatatkan kenaikan beruntun pada periode Mei-Juli 2021 hingga menyentuh angka US$ 115,35 per ton. Kenaikan terus berlanjut hingga September 2021 yang mencatatkan rekor tertinggi baru. Simak databoks berikut:
Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Agung Pribadi mengatakan, kenaikan HBA dipengaruhi permintaan dari Tiongkok yang tinggi. Faktor lainnya yaitu meningkatnya permintaan batu bara dari Korea Selatan dan kawasan Eropa seiring dengan tingginya harga gas alam.
Menurut dia faktor-faktor tersebut telah mendorong harga batu bara global ikut naik dan mencatatkan rekor dari bulan ke bulan. "Ini adalah angka yang cukup fenomenal dalam satu dekade terakhir," kata Agung, Senin (7/9).
HBA adalah harga yang diperoleh dari rata-rata Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal/kg GAR dengan kelembapan total 8%, sulfur 0,8%, dan abu (ash) 15%.
Ada dua faktor turunan yang mempengaruhi pergerakan HBA yaitu, permintaan dan penawaran. Faktor penawaran dipengaruhi season (cuaca), teknis tambang, kebijakan negara supplier, hingga teknis rantai pasok seperti kereta, tongkang, maupun loading terminal.
Sedangkan faktor permintaan dipengaruhi oleh kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro.
Adapun HBA September ini akan dipergunakan pada penentuan harga batu bara pada titik serah penjualan secara Free on Board di atas kapal pengangkut (FOB Vessel).