Permintaan Terus Tumbuh, Harga Nikel Berpotensi Tembus US$ 20.000/Ton

PT Antam TBK
Hasil olahan mineral nikel.
15/9/2021, 19.36 WIB

Harga nikel sepanjang tahun ini mengalami kenaikan signifikan. Analis memprediksi harga mineral bahan baku penting pembuatan baterai mobil listrik ini akan terus melesat hingga akhir tahun ini, salah satunya didorong peningkatan permintaan seiring perkembangan kendaraan listrik dunia.

Mengutip MarketInsider, harga nikel sepanjang tahun ini naik hingga 41%, dari US$ 13.995 per ton pada akhir 2020, menjadi US$ 19.772 pada Senin (13/9). Sedangkan di London Metal Exchange (LME) nikel berada di level US$ 19.623/ton pada penutupan perdagangan Selasa (14/9).

Pengamat komoditas Ariston Tjendra mengatakan berdasarkan laporan dari World Bank dan Macquarie, ada potensi pertumbuhan permintaan nikel dari industri baja dan kendaraan listrik sekitar 17% pada tahun ini.

Sementara Sumitomo Metal Mining memprediksi kenaikan permintaan nikel global tahun 2021 sekitar 9,2%. Namun pertumbuhan dari pasokan hanya mencapai 5,8%. Oleh karena itu ia optimis harga nikel akan kembali tembus di atas US$ 20 ribu/ton.

"Kalau dari tren harga saat ini, secara teknikal masih menunjukkan peluang kenaikan, mungkin bisa kembali lagi tembus ke atas US$ 20.000 per ton," ujar dia kepada Katadata.co.id, Rabu (15/9).

Meski demikian, Ariston menyebutkan bahwa perusahaan tambang Norilsk Nickel dan Sumitomo Metal memprediksi ada kemungkinan pasokan nikel meningkat melebihi permintaan tahun ini, didorong peningkatan produksi nikel Indonesia. "Ini mungkin bisa memoderasi kenaikan harga nikel ke depannya," ujarnya.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy menilai dalam jangka pendek kenaikan harga nikel tidak terlepas dari perbaikan ekonomi Tiongkok, yang merupakan salah satu negara dengan permintaan nikel terbesar dari Indonesia.

Sedangkan untuk jangka menengah hingga jangka panjang menurutnya pergerakan harga nikel tidak semata-mata karena hadirnya mobil listrik. Pasalnya, produk turunan bijih nikel yang diproduksi smelter masih didominasi oleh FeNi (ferro nickel), NPI (nickel pig iron) dan nickel mattes.

Ketiga turunan tersebut berasal dari saprolite nickel, yakni bijih nikel kadar tinggi yang lebih digunakan sebagai bahan baku pembuatan stainless steel dan diolah lebih lanjut untuk turunan lainnya. Sedangkan untuk membuat baterai listrik, yang diperlukan adalah turunan dari limonite nickel yakni bijih nikel kadar rendah.

Sejauh ini belum ada smelter di Indonesia yang mengolah limonite nickel. Titik ekstraksi masih sangat terfokus pada saprolite nickel dan perusahaan yang beroperasi dengan teknologi pirometalurgi jumlahnya sudah cukup banyak.

Di sisi lain, penggunaan teknologi hidrometalurgi untuk mengolah limonite nickel yang lebih relevan dengan pembuatan baterai listrik justru masih sedikit. Bahkan belum ada sama sekali.

"Sekarang sudah ada MIND ID, tinggal bagaimana BUMN ini bisa memitigasi mencari solusi untuk masalah di atas, sehingga diskusinya ke depan tidak sekedar naik atau turun, tetapi produk nikel Indonesia bisa termanfaatkan secara lebih optimal," katanya.

Ketua Umum Indonesian Mining Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo memprediksi harga nikel untuk jangka panjang akan terus naik. Namun kenaikan tersebut berjalan cukup perlahan.

"Ini sangat jelas, kondisi suplai nikel relatif tidak terganggu, demikian juga Indonesia yang juga terus menaikkan produksinya," kata dia.

Selain harga, dia juga melihat prospek mobil listrik kedepannya akan terbuka lebar. Nikel sebagai bahan baku untuk pembuatan baterai mobil listrik akan memegang peranan penting.

KESIAPAN STASIUN PENGISIAN KENDARAAN LISTRIK UMUM PLN (ANTARA FOTO/Didik Suhartono/aww.)

Oleh sebab itu, Singgih mendorong agar semuanya dipersiapkan secara matang. Meskipun pengaruh pada harga nikel masih membutuhkan waktu, sehingga saat ini kenaikannya lebih didorong untuk kebutuhan industri di luar mobil.

Namun harus diingat, investor mobil listrik merupakan investor besar yang mempunyai fokus pada visi green energy. Sehingga jika berbicara investasi mobil listrik, bukan sebatas mendapatkan nikel dengan harga murah.

Mereka akan mencari perusahaan yang mempunyai visi sama dalam membangun green energy ke depan. Untuk itu, diperlukan kesiapan perusahaan pertambangan nikel di Indonesia agar berkomitmen untuk menerapkan good mining practice alias praktik penambangan berkelanjutan.

"Ikut terlibat dalam memperbesar EBT dalam proses produksi, menjadi parameter yang jelas justru menjadi pertimbangan investor mobil listrik.

Kedekatan Tesla dengan BHP Nickel West Australia, menurut Singgih harus menjadi pelajaran Indonesia dalam mengelola pertambangan nikel untuk tujuan memperbesar peran di mobil listrik. Dari hulu hingga hilir perlu dipastikan akan berjalan pada proses green energy dan meminimalkan dampak karbon yang terjadi.

Reporter: Verda Nano Setiawan