Asosiasi Khawatir Royalti Naik di Tengah Melambungnya Harga Batu Bara

ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/wsj.
Sebuah truk pengangkut batu bara melintasi jalan tambang batu bara di Kecamatan Salam Babaris, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, Rabu (7/7/2021).
Editor: Lavinda
5/10/2021, 08.17 WIB

Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) khawatir dengan wacana kenaikan tarif royalti batu bara di tengah prospek harga batu bara RI yang cerah, seiring meningkatnya permintaan emas hitam tersebut di pasar internasional. 

Sebelumnya, pemerintah tengah mempersiapkan peraturan perpajakan untuk sektor usaha batu bara, salah satunya mengatur tentang royalti atau dana hasil produksi batu bara (DHPB).

Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengimbau pemerintah untuk tidak menaikkan tarif royalti batu bara. Pasalnya, hal itu akan berdampak para operasional perusahaan batu bara.

"Sebaiknya beban kewajiban keuangan perusahaan melalui aturan pengenaan royalti yang kabarnya akan dinaikkan perlu dipertimbangkan," kata Hendra kepada Katadata.co.id, Senin (4/10).

Pada dasarnya, menurut dia, harga komoditas memiliki volatilitas cukup tinggi, sehingga harga batu bara masih berpotensi tertekan di masa mendatang.

Sebagian perusahaan yang tergabung dalam anggota APBI telah mengajukan revisi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pada kuartal II 2021. "Sejauh mana progres persetujuan dari pemerintah kami tidak dapat update-nya," kata dia.

Sekretaris Perusahaan Golden Energy Mines Sudin Sudirman mengatakan harga batu bara saat ini memang memiliki prospek yang cukup bagus. Namun RKAB perusahaan batu bara tahun ini telah disetujui dengan jumlah produksi tertentu.

Dengan demikian, PT Borneo Indobara selaku anak usaha PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS) akan fokus menggenjot produksi yang maksimal sesuai dengan RKAB.

Pasalnya, tantangan curah hujan yang tinggi di Kalimantan Selatan masih menjadi tantangan tersendiri dalam kegiatan operasi tambang. "Berharap di kuartal empat ini saja agar cuaca baik-baik saja, dan kami bisa produksi dengan lancar untuk mencapai target tahun ini," katanya.

Pemerintah mempersiapkan peraturan pemerintah perpajakan untuk sektor usaha batu bara. Salah satu isinya mengatur tentang royalti batu bara.

Aturan itu terutama untuk pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) yang akan diperpanjang menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Para pelaku usaha sebelumnya mengusulkan tarifnya 14% hingga maksimal 20%.

APBI sepakat pemberlakuan tarif royalti secara berjenjang atau progresif. Angkanya disesuaikan dengan level atau tingkat harga tertentu dengan mempertimbangkan harga komoditas yang fluktuatif.

Hendra mengatakan besaran royalti itu sebaiknya melihat peningkatan penerimaan negara dan kondisi perusahaan batu bara, terutama ketika harganya turun. “Jika tarifnya ditetapkan sangat tinggi, maka produsen batu bara akan kesulitan menutup biaya produksi dan royalti,” katanya beberapa waktu lalu.

Pemegang IUPK operasi produksi (OP) perpanjangan PKP2B adalah perusahaan pertambangan yang beroperasi lebih dari 20 tahun, bahkan ada yang hampir 30 tahun. Ada tiga karakteristik tambangnya.

Pertama, sebaran cadangan batu baranya mulai terbatas sehingga sulit memilih lokasi yang ekonomis. Kedua, cadangannya lebih dalam dan jauh sehingga semakin besar biaya produksinya. Ketiga, lokasi pembuangan lapisan tanah penutupnya semakin jauh dan butuh biaya tinggi juga.  

Kondisi itu merupakan proses alami. Biaya produksi semakin tinggi seiring dengan kondisi tambang yang menurun. Namun, harga jual batu bara tidak berhubungan dengan hal tersebut, tapi mengikuti pergerakan indeks global dan acuan pemerintah.

Artinya, risiko usaha yang ditanggung pemegang IUPK, menurut Hendra, sangat tinggi. Cadangan batu bara yang masih berada di lapisan bawah yang semula masih ekonomis untuk ditambang menjadi tidak ekonomis lagi akibat tingginya royalti. Hal ini pun menyebabkan cadangan batu bara akan menurun.

Reporter: Verda Nano Setiawan