Setelah berhasil mengujicoba terbang bahan bakar nabati (BBN) bioavtur J2.4 atau kadar campuran 2,4%, Pertamina akan langsung mengembangkan bahan bakar tersebut dengan kadar campuran sebesar 5% atau J5.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan Pertamina akan memproduksi bioavtur J5 dalam waktu dekat. Meski begitu, dia tak merinci secara detail kapan rencana tersebut direalisasikan.
"Secara teknis Pertamina sudah menghasilkan D100 dan berhasil ekspor. Sekarang masuk ke tahap kedua yaitu avtur nanti setelah turn around dari Kilang Cilacap akan kita produksikan di J5," ujar Nicke dalam acara konferensi pers Keberhasilan Uji Terbang Pesawat CN235-220 FTB dengan Bahan Bakar Bioavtur, Rabu (6/10).
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.12 tahun 2015, campuran BBN pada avtur ditargetkan dapat mencapai persentase 3% pada 2020, kemudian ditingkatkan kembali menjadi 5% pada 2025.
"Penelitian dan pengembangan harus dilakukan untuk nantinya dihasilkan J100 dan penggunaan bioavtur untuk seluruh maskapai di Indonesia dan penerbangan mancanegara," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif pada kesempatan yang sama.
Namun, dalam mengimplementasikan program ini, Nicke berharap Pertamina mendapat kepastian pasokan minyak sawit yang berkelanjutan. Pasalnya, bahan baku yang tak dapat dikontrol oleh Pertamina adalah produk minyak sawit itu sendiri.
"Kami berharap ada suatu kebijakan yang utuh bagaimana program ini berkelanjutan. Kami harapkan ada volume yang dialokasikan," katanya. Simak produk hasil pengolahan di kilang Pertamina pada databoks berikut:
Di samping itu, ada juga aspek lain terkait tahap komersialisasi bioavtur di Indonesia. Salah satunya yakni terkait rencana pemberlakukan tarif pajak karbon dari Kementerian Keuangan.
"Ini kalau kita match kan akan berpengaruh pada keekonomian. Kita siapkan kilang pertamina untuk memproduksi bioavtur sesuai standar," ujarnya.
Sebelumnya, Nicke juga pernah meminta pemerintah memberlakukan DMO minyak sawit untuk memproduksi biodiesel. Sehingga perusahaan bisa mendapatkan pasokan minyak sawit yang berkelanjutan dengan harga yang lebih murah dari ekspor.
"Ini seperti halnya PLN membangun 35.000 MW, butuh suplai batu bara besar dengan volume dan harga batas bawah dan batas atas," kata Nicke.
Meski begitu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM belum memberikan keputusan terkait hal tersebut. "Masih pembahasan," ujar Direktur Bioenergi Andriah Feby Misna.