Krisis energi berpotensi mengancam laju pemulihan ekonomi global dari dampak pandemi Covid-19. Kenaikan harga berbagai komoditas energi seperti gas, batu bara, dan minyak mentah, akan memicu inflasi, dan di saat yang sama menekan aktivitas industri.
“Permintaan minyak mentah akan meningkat akibat krisis energi global, memicu inflasi serta memperlambat pemulihan ekonomi dunia dari pandemi Covid-19,” tulis laporan Badan Energi Internasional (IEA) seperti dikutip Reuters, Kamis (13/10).
Harga minyak dan gas alam telah melonjak ke level tertingginya dalam beberapa tahun terakhir belum lama ini. Alhasil harga listrik melonjak ke rekor tertingginya di kawasan Asia dan Eropa karena pasokan bahan bakar yang ketat.
"Rekor harga batu bara dan gas serta pemadaman bergilir mendorong sektor listrik dan industri padat energi untuk beralih ke minyak agar listrik tetap menyala dan operasional tak terganggu," kata IEA dalam laporan bulanannya.
Hal ini sudah terlihat di Inggris. Perusahaan Inggris dari berbagai sektor, mulai dari industri baja, kertas, kaca, semen, keramik dan bahan kimia terancam gulung tikar atau menaikkan harganya. Kondisi tersebut terjadi jika pemerintah setempat tidak menyediakan subsidi energi.
Sebagian besar perusahaan dari sektor tersebut menjadi yang paling tertekan karena krisis energi yang tengah melanda Inggris. Pasalnya, kebanyakan dari mereka menggunakan gas alam dan listrik untuk menjalankan usahanya.
Sementara itu, tarif listrik diperkirakan makin melonjak saat musim dingin tiba. Akibatnya, perusahaan di Inggris semakin tidak kompetitif dibandingkan perusahaan sejenis di dunia yang menerima bantuan dari pemerintah di negara masing-masing.
Tarif listrik di Inggris kini naik dari 50 poundsterling per megawatt atau setara Rp 967 ribu menjadi 2.500 poundsterling Rp 48 juta per megawatt pada bulan September lalu.
IEA pun memperkirakan permintaan minyak global tahun depan akan pulih ke tingkat pra-pandemi. Bahkan IEA telah merevisi ke atas untuk perkiraan permintaan minyak untuk tahun ini sebesar 170.000 barel per hari (bph) dan tahun depan 210.000 bph lebih tinggi dari perkiraan semula.
Menurut laporan tersebut, lonjakan permintaan minyak pada kuartal IV tahun ini menyebabkan persediaan minyak turun ke level terendah dalam delapan tahun terakhir. Sementara dari sisi suplai, IEA memperkirakan bahwa OPEC+ akan memproduksi 700.000 bph, lebih rendah dari perkiraan permintaan minyak mentahnya pada kuartal IV.
Artinya, permintaan akan melebihi pasokan setidaknya hingga akhir tahun ini. Analis pun memprediksi, harga minyak kemungkinan akan kembali ke level US$ 100 per barel tahun ini.
Kapasitas produksi cadangan dari grup tersebut akan menyusut dengan cepat, dari 9 juta bph pada kuartal I tahun ini menjadi hanya 4 juta bph pada kuartal kedua 2022. Kapasitas produksi itu terkonsentrasi di segelintir negara Timur Tengah.
“Penurunan ini menekankan pentingnya meningkatkan investasi untuk memenuhi permintaan di masa depan. Investasi untuk transisi energi bersih menjadi kunci, tetapi ini harus direalisasikan dengan cepat atau pasar energi global akan tantangan berat di depan,” kata laporan itu.
IEA menyebut prospek pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19 tidak berkelanjutan karena ketergantungan terhadap bahan bakar fosil masih tinggi. Jalan keluarnya yaitu investasi dalam energi terbarukan harus ditingkatkan menjadi US$ 4 triliun, sekitar Rp 57.000 triliun pada 2030 jika dunia ingin memerangi perubahan iklim secara efektif.