Indonesian Petroleum Association bakal berkomunikasi dengan pemerintah terkait penerapan pajak karbon yang mulai akan berlaku pada tahun depan. Ini guna memastikan target penurunan emisi karbon dapat berjalan tanpa mengganggu iklim investasi hulu migas.
Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong mengatakan berdasarkan informasi yang dia terima, pajak karbon akan didesain sedemikian rupa. Utamanya agar tidak memberatkan, tetapi justru mendorong para pengusaha untuk mengurangi emisi karbon.
"Hal ini yang akan kami tanyakan ke pemerintah karena sangat penting agar target penurunan emisi karbon dapat berjalan dengan baik akan tetapi investor migas akan tetap tertarik untuk berinvestasi sehingga target kenaikan produksi dapat dicapai juga," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (15/10).
Adapun salah satu upaya untuk menekan emisi karbon pada kegiatan hulu migas salah satunya yakni melalui teknologi CCUS (carbon capture, utilization, and storage) atau penangkapan, penyimpanan, dan pemanfaatan karbon.
Para pelaku usaha pun tengah menanti kejelasan dari aturan ini. "Peraturan nya sedang dibuat untuk melengkapi implementasi CCUS dan CCS," katanya.
Seperti diketahui, rencana pemerintah menerapkan tarif pajak karbon mendapat respon dari para pelaku industri hulu migas tanah air. Mereka meminta agar kontrak eksisting migas tidak dikenakan pajak karbon sesuai dengan contract sancity principle.
Anggota DEN Satya Widya Yudha sebelumnya mengatakan pelaku usaha berharap pemerintah tidak menerapkan pajak karbon bagi industri hulu migas dengan kontrak eksisting. "Apabila itu nantinya dikenakan perlu adanya tambahan-tambahan fiskal dan insentif lainnya agar investasi migas dapat tetap kompetitif dan menarik," kata dia.
Selain penerapan pajak karbon, pemerintah juga diharapkan untuk dapat mendukung dan menstimulasi kegiatan green project yang bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca. Misalnya seperti teknologi carbon capture and storage (CCS) atau Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) dengan memberikan fasilitas kredit pajak.
Selain itu, menurut Satya pelaku usaha juga mengusulkan supaya minyak dan gas bumi dapat dijadikan barang kena pajak (BKP) yang bersifat strategis. Sehingga dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai alias PPN.
"Saya berharap ini menjadi pengamatan di industri hulu migas untuk melihat bagaimana dari satu sisi memenuhi komitmen internasional tapi di sisi lain juga melakukan aktivitas dan pengembangan di sektor hulu migas," katanya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan bahwa ada potensi pendapatan negara hingga Rp 53 triliun dari pajak karbon. Namun pemerintah harus berhati-hati dan cermat dalam menerapkan kebijakan ini.
Pasalnya pajak karbon berpotensi melambungkan harga dari energi fosil, seperti yang terjadi di negara yang telah menerapkannya. Sementara, Indonesia hingga kini masih memberikan subsidi untuk energi fosil.
"Ini ada sesuatu yang belum pas dalam kebijakan harga energi kita. Baik di BBM, gas bumi, kelistrikan, kita masih ada beberapa subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Tapi di satu sisi pemerintah ingin menerapkan pajak karbon," ujarnya beberapa waktu lalu.