Rencana pemerintah untuk melakukan transisi energi dari sumber energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) dinilai masih setengah hati. Pasalnya, ketergantungan terhadap bahan bakar kotor, terutama batu bara, masih tinggi, apalagi di saat harganya yang tengah melambung.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai pemerintah saat ini mulai balik arah menyelamatkan bisnis batu bara. Salah satunya karena kontrak pembelian batu bara jangka panjang untuk pembangkit listrik dan UU Minerba lebih berpihak pada perpanjangan izin pertambangan batu bara.
"Banyak yang tidak sinkron di saat pajak karbon disahkan dalam UU HPP dan Indonesia mengangkat isu sustainable development dalam rencana event Presidensi G20," kata Bhima kepada Katadata.co.id, Rabu (27/10).
Bhima menyebut indikasi inkonsistensi pemerintah dalam menurunkan emisi karbon dan ketidakpastian komitmen pemerintah. Maka akan menurunkan minat investasi di sektor EBT. Bahkan perusahaan energi berbasis fosil yang mau transisi ke bisnis EBT menjadi berpikir ulang.
"Harusnya bukan batu bara ya, kalau ingin transisi pindah dulu ke gas. Gas jelas emisi karbonnya lebih rendah dari batu bara. Kenapa tidak didorong ke pemakaian gas dulu untuk substitusi batu bara?," katanya.
Regional Climate and Energy Campaign Coordinator, Greenpeace Indonesia Tata Mustasya menilai rasa setengah hati untuk melakukan transisi energi menunjukkan gap yang besar antara komitmen dengan implementasi.
Mengingat, Presiden Joko Widodo sudah beberapa kali menyampaikan mengenai pentingnya ekonomi hijau untuk Indonesia. Transisi energi merupakan kunci untuk menuju ekonomi hijau.
Menurut dia Kementerian ESDM berbicara transisi yang seharusnya mengacu kepada tujuan yang ingin kita capai. "Nah masalahnya tujuan atau goal pun saya lihat Indonesia masih sering mengalami disorientasi," katanya.
Ia pun mendorong agar Indonesia dapat mencapai nol emisi karbon pada 2050 dengan mempensiunkan pembangkit berbahan bakar batu bara dan mulai menggunakan penuh sumber energi terbarukan. Dengan begitu, maka penciptaan lapangan kerja dan pengembangan industri energi bersih dan terbarukan akan mulai terlihat.
Sehingga bukan masalah soal realistis atau tidaknya. Transisi energi sudah menjadi keharusan untuk mengatasi krisis iklim. Laporan terbaru dari WMO menyampaikan bahwa Asia mengalami suhu terpanas pada 2020 yang akan berdampak kepada manusia dan perekonomian. "Menuju ke tujuan itu kita harus melakukan transisi," katanya.
Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnya menilai transisi ke energi bersih harus dilakukan secara hati-hati. Mengingat kawasan ASEAN termasuk Indonesia masih bergantung pada sumber energi batu bara.
"Kawasan ASEAN dalam beberapa hal masih bergantung pada batu bara sebagai sumber energi yang menyumbang 31,4% dari kapasitas daya terpasang pada tahun 2020. Situasi ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati ketika menetapkan jalan kita menuju netralitas karbon," ujar Arifin dikutip dari laman Kementerian ESDM, Selasa (26/10).
Adapun proses transisi menuju energi bersih menurutnya harus direncanakan berdasarkan kebutuhan negara masing-masing. Apalagi semua negara memiliki kepentingan dan tujuan bersama untuk memerangi perubahan iklim. Indonesia perlu membuat perubahan penting terkait kebijakan keamanan ekonomi dan energi di kawasan.
Selain itu, pemanfaatan EBT sebagai jalan keluar mengimplementasikan transisi energi harus tetap mempertimbangkan kondisi perekonomian domestik, daya saing pasar, hingga kemampuan industri.
"Kita harus memaksimalkan potensi lokal kita sendiri untuk memastikan pengembangan EBT selaras dengan kondisi ekonomi dan tantangan masa depan," katanya.
Dalam laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF), Indonesia menempati peringkat keenam di antara negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN, dalam melakukan transisi energi. Skor indeks transisi energi Indonesia 56, di bawah Singapura di urutan teratas (67), Malaysia (64), Thailand (60), Vietnam (57), dan Filipina (57). Simak databoks berikut: