Pemerintah berencana untuk mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebesar 9,2 GW sebelum 2030. Dari jumlah tersebut, hanya 3,7 gigawatt (GW) atau sekitar 40% yang kemudian akan digantikan dengan pembangkit energi terbarukan.
Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Wanhar, mengatakan dari total 9,2 GW yang akan dipensiunkan, setidaknya 5,5 GW akan dilakukan proses spin off terhadap aset-aset PLTU tua milik PLN.
Sementara, sisanya 3,7 GW akan diganti dengan pembangkit energi terbarukan.
"Ini merupakan usulan PLN yang sudah dibahas dan disepakati Kementerian atau Lembaga terkait," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (8/11).
Wanhar beralasan program konversi yang hanya menyasar PLTU sebesar 3,7 GW dengan pembangkit baru energi terbarukan mempertimbangkan beberapa aspek.
Antara lain, kesiapan pengganti dari pembangit energi terbarukan, kecukupan pendanaan yang harus bertahap, dan cadangan (reserve margin) sistem kelistrikan yang sudah di atas 30%.
"Serta skema kontrak jual beli (PPA) yang take or pay," kata dia.
Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnya mengklaim, dari 5,5 GW PLTU yang akan dipensiunkan secara dini tanpa adanya pergantian ke pembangkit listrik energi terbarukan akan berkontribusi pada pengurangan emisi karbon sebesar 36 juta ton CO2.
Sementara, dari 3,7 GW yang akan dipensiunkan secara dini dan diganti dengan pembangkit energi terbarukan, kontribusi terhadap penurunan emisinya secara total mencapai 53 juta ton CO2.
Guna mencapai hal itu, setidaknya ada beberapa hal yang dapat dijadikan lingkup kerja sama dengan mitra internasional.
Kerja sama itu bisa berupa technology sharing dan capacity building.
Kerja sama juga bisa berupa bantuan teknis dan akses teknologi terkini serta mendukung penciptaan lapangan kerja baru.
Berikutnya, peningkatan investasi di bidang energi terbarukan, efisiensi energi, dan proyek infrastruktur.
Seperti diketahui, pemerintah berencana mempensiunkan dini PLTU dengan total kapasitas sebesar 9,2 Giga Watt (GW) sebelum tahun 2030.
Hal ini mempertimbangkan peralihan lanskap energi global menuju ekonomi rendah karbon dan net zero emission (NZE) atau nol emisi karbon.
Rinciannya, sebanyak 5,5 GW dari PLTU akan dipensiunkan secara dini tanpa adanya penggantian dari pembangkit listrik EBT.
Jumlah ini berkontribusi pada pengurangan emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 36 juta ton dengan total investasi yang dibutuhkan sebesar US$ 26 miliar atau Rp 372 triliun.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB COP26 di Glasgow, Skotlandia, pekan lalu, pemerintah Indonesia mengutarakan keinginannya untuk mempensiunkan dini PLTU.
Langkah itu diambil sebagai komitmen untuk menurunkan emisi karbon demi mencegah perubahan iklim.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah telah mengidentifikasi 5,5 gigawatt (GW) PLTU yang dapat dipensiunkan lebih cepat dalam waktu 8 tahun. Namun untuk itu dibutuhkan dana US$ 25-30 miliar atau sekitar Rp 357-228 triliun.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menilai keberpihakan pada lingkungan bersih memang bagus.
Namun perlu dicatat, setiap kebijakan yang diambil harus dipertimbangkan secara matang.
Komaidi menambahkan bahwa berdasarkan perhitungan PLN, setiap 1 gigawatt (GW) yang dipercepat masa pensiunnya, setidaknya membutuhkan dana sekitar Rp 5 triliun per tahun.