Pemerintah menjamin proyek gasifikasi yang mengubah batu bara menjadi dimethyl ether (DME) sangat tepat sebagai bahan bakar pengganti liquefied petroleum gas (LPG atau Elpiji). Sebab menurut perhitungan pemerintah, biaya produksi DME lebih murah daripada impor LPG.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, mengatakan pemerintah bakal mendorong proyek hilirisasi di sektor pertambangan batu bara. Terutama setelah Air Products and Chemicals Inc (APCI) berkomitmen untuk menanamkan modalnya sekitar US$ 13-15 miliar (Rp 185-214 triliun) di Indonesia.
Menurut Bahlil, kebijakan ini diambil mengingat impor LPG di Indonesia saat ini telah mencapai 5,5-6 juta metrik ton. Sehingga jika tak ditahan, maka cadangan devisa yang akan keluar yakni sekitar Rp 55-70 triliun.
"Kita akan kurangi impor LPG kita dengan DME. Harganya lebih murah juga, jadi substitusi impor dapat, kedaulatan energi kita dorong, kemudian neraca dagang kita jaga dan barang tentu banyak ciptakan lapangan pekerjaan dan nilai tambah," kata dia dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (11/11).
Selain itu, Bahlil juga mengungkapkan bahwa secara total, Indonesia telah meraup komitmen investasi sebesar US$ 44,6 miliar (Rp 636 triliun) dari Uni Emirat Arab (UEA). Adapun komitmen investasi tersebut mencakup di bidang infrastruktur, pertanian, alat kesehatan, pusat data, hilirisasi pertambangan, hingga energi baru terbarukan.
Sebelumnya, Studi lembaga kajian internasional asal Amerika Serikat, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), menyimpulkan proyek DME terlalu mahal dan tidak sesuai dengan tujuan pemerintah. Sebab, hitungan biaya produksi DME dua kali lipat lebih mahal daripada impor LPG.
Total biaya membangun fasilitas produksinya adalah Rp 6,5 juta per ton atau US$ 470 per ton. Angka ini hampir dua kali lipat dari biaya yang pemerintah keluarkan untuk mengimpor LPG. Simak perkembangan impor LPG pada databoks berikut
Karena itu, peneliti sekaligus analis keuangan IEEFA Ghee Peh mengatakan menggantikan elpiji dengan DME tidak masuk akal secara ekonomi. Lembaga itu memperkirakan proyek gasifikasi Bukit Asam dapat menggerus penghematan impor elpiji hingga Rp 266,7 miliar atau US$ 19 juta.
Di samping itu, Pertamina sebagai salah satu BUMN yang bakal menjalankan proyek ini juga masih menanti dukungan regulasi dari pemerintah. Terutama sebelum mengimplementasikan proyek gasifikasi batu bara ini.
Perusahaan saat ini juga tengah berdiskusi dengan para stakeholder. Khususnya Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, dan Kementerian Keuangan, terkait dengan dukungan regulasi pemerintah yang dibutuhkan untuk implementasi DME.
Terkait dengan penugasan, penentuan harga, subsidi, alokasi wilayah atau market, hingga jaminan risiko perubahan regulasi dan politik.
"Pertamina dan mitra mengusulkan draft Peraturan Presiden terkait dengan dukungan tersebut dan saat ini masih dalam proses review oleh Biro Hukum Kementerian BUMN," ujar Pjs Senior Vice President Corporate Communications and Investor Relations Pertamina, Heppy Wulansari.