PT Huadian Bukit Asam Power (HBAP) sebagai konsorsium pelaksana proyek PLTU Sumsel 8 bakal menerapkan teknologi supercritical bernama flue gas desulphurization (FGD) untuk menekan emisi gas rumah kaca pembangkit listrik berbahan bakar batu bara ini saat memproduksi listrik.
Sebab, ketika beroperasi nanti, PLTU ini akan mengonsumsi sekitar 5 juta ton batu bara per tahun. Sehingga teknologi ini dibutuhkan untuk meminimalkan sulfur dioksida dari emisi gas buang demi mencapai target netralitas karbon. Nantinya, batu bara akan dipasok dari IUP Bangko di wilayah tambang PTBA di Tanjung Enim.
"FGD merupakan proses pencampuran emisi gas hasil pembakaran batubara dengan zat pengikat berupa kapur basah agar kandungan sulfur dioksida yang dilepaskan ke atmosfer menjadi rendah," kata Deputi General Manager HBAP Gusti Anggara dalam keterangan tertulis, Rabu (17/11).
Badan Energi Internasional (IEA) melaporkan total emisi karbon dioksida (CO2) mencapai 33,9 gigaton (Gt) sepanjang 2020. Sebanyak 13,5 Gt di antaranya berasal dari listrik dan pemanas, menjadi yang paling banyak dibandingkan sumber lainnya. Simak databoks berikut:
Adapun progres pembangunan PLTU mulut tambang terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas total 2 x 660 megawatt (MW) atau lebih 1,2 gigawatt (GW) ini dilaporkan telah mencapai 92,84%, seperti diungkapkan oleh Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja sama Kementerian ESDM Agung Pribadi.
"Kami baru saja menerima laporan progresnya sudah lebih dari 92%. Semoga lancar sesuai target dan dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar, menguatkan sistem kelistrikan Sistem Sumatera," ujarnya.
Sebagai informasi, pembangunan PLTU ini dilaksanakan oleh perusahaan patungan antara PT Bukit Asam (PTBA) dan China Huadian Hongkong Company Ltd., PT Huadian Bukit Asam Power (HBAP) sebagai independent power producer (IPP). Proyek ini ditargetkan mulai beroperasi pada kuartal I 2022.
Proyek PLTU yang merupakan bagian dari proyek 35.000 MW ini bernilai US$ 1,68 miliar atau sekitar Rp 24 triliun. HBAP mendapat fasilitas pinjaman dari China Export Import (CEXIM) Bank senilai US$ 1,26 miliar atau sekitar Rp 17 triliun sebagai bentuk kerja sama antara Indonesia dan Cina.
Nilai pinjaman CEXIM ini mencapai 75% dari kebutuhan pendanaan proyek. Sisanya sekitar US$ 420 juta akan dipenuhi oleh PTBA dan China Huadian melalui setoran modal.