Sengkarut Proyek Kilang Pertamina yang Menyulut Amarah Jokowi

ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
Foto udara kawasan Kilang RU VI Balongan, Indramayu, Jawa Barat, Jumat (24/1/2020).
22/11/2021, 16.04 WIB

Kekesalan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap lambatnya progres pembangunan kilang minyak Pertamina sudah tak terbendung. Bahkan Jokowi mengaku pernah membentak Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati lantaran dinilai lambat dalam mengeksekusi proyek-proyek migas.

Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tak banyak berbicara saat dikonfirmasi perihal hal itu. Dia hanya meminta agar pertanyaan tersebut dapat ditujukan ke Nicke Widyawati. "Bisa ke Direktur Utama," kata Ahok singkat kepada Katadata.co.id, Senin (12/11).

Sementara, Nicke tak merespon pesan yang yang disampaikan oleh Katadata.co.id. Begitu juga dengan Corporate Secretary Subholding Refining & Petrochemical PT Kilang Pertamina Internasional, Ifki Sukarya.

Pada rapat itu, Jokowi begitu kesal ketika menceritakan kembali pengalamannya mengenai lambatnya proyek pembangunan kilang petrokimia PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur. Mengingat saat ia dilantik pada 2014 lalu, ia langsung turun ke lapangan untuk meninjau proyek tersebut.

"TPPI investasinya US$ 3,8 miliar, ini sudah bertahun-tahun belum jalan-jalan juga," kata dia dalam rapat di hadapan komisaris dan direksi Pertamina dan PLN di Istana Negara pada Selasa (16/11) yang disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden pada Sabtu (20/11).

Jokowi menilai kilang TPPI jika telah rampung dan beroperasi dapat menghasilkan banyak turunan petrokimia yang bisa menjawab kebijakan substitusi impor Indonesia. Kilang ini diharapkan dapat membereskan persoalan yang berkaitan dengan neraca perdagangan dan neraca pembayaran.

“Kita bisa produksi sendiri karena kita punya industrinya, mesinnya, bahan bakunya, kok tidak kita lakukan malah impor. Itu yang bikin saya sedih," kata Presiden. Simak daftar kilang milik Pertamina pada databoks berikut:

Perkembangan Terakhir Kilang TPPI

Pada pertengahan September lalu, Pertamina menyatakan komitmennya dalam menjalankan penugasan dari Pemerintah. Utamanya untuk merampungkan mega proyek kilang minyak dan petrokimia.

Salah satu yang menjadi fokus pengembangan adalah di industri Petrokimia, yakni kilang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (PT TPPI) yang berlokasi di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Kilang tersebut ditargetkan menjadi pabrik petrokimia terbesar di Asia Tenggara.

Sebagai pengolahan petrokimia, kilang TPPI berpotensi menghasilkan produk aromatik, baik para-xylene, ortho-xylene, bensin, toluene, heavy aromatic. Namun juga dapat menghasilkan Bahan Bakar Minyak (BBM) seperti; Premium, Pertamax, elpiji, solar, kerosene.

Presiden juga menilai pengelolaan kilang TPPI di bawah Pertamina optimasi kawasan kilang TPPI akan berpotensi menciptakan penghematan devisa negara hingga US$ 4,9 miliar atau sekitar Rp 56 triliun.

Sehingga, pengelolaan kawasan pabrik Petrokimia TPPI akan berkontribusi menciptakan ketahanan energi melalui substitusi produk petrokimia impor. Hal tersebut memiliki nilai penting dalam menghadapi tantangan negara Indonesia selama beberapa dekade terakhir.

Untuk merealisasikan harapan tersebut, Pertamina mengklaim telah bergerak cepat dan memastikan proyek pengembangan kilang TPPI tetap berjalan. Pada September lalu, TPPI tengah memproses pembangunan fasilitas produksi olefin dan aromatik atau Olefin Complex Development Project (OCDP) di kawasan kilang TPPI.

KILANG TPPI TUBAN (ANTARA FOTO/Moch Asim)



Di TPPI terdapat dua proyek pengembangan dan pembangunan yang saat ini sedang dilaksanakan Pertamina. Pertama, proyek Revamping Aromatic yang akan meningkatkan produksi petrokimia berupa Paraxylene dari 600 ribu ton menjadi 780 ribu ton per tahun yang ditargetkan selesai pada tahun 2022.

Kedua, Proyek New Olefin yang mencakup pembangunan Naphtha Cracker, termasuk unit-unit downstream dengan produk Polyethylene (PE) sebesar 1 juta ton per tahun dan Polypropylene (PP) 600 ribu ton per tahun yang ditargetkan selesai pada tahun 2024.

Pertamina pun mengundang secara terbuka perusahaan kelas dunia yang berpengalaman dalam pembangunan Olefin dan Petrokimia untuk menjadi mitra strategis dalam mewujudkan fasilitas Produksi Olefin dan Aromatik di Tanah Air.

Awal September 2021, panitia telah mengumumkan hasil tender berdasarkan tahapan dan proses sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam dokumen Tender serta Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa yang berlaku di Pertamina.

Ke depan, proses akan dilanjutkan hingga proyek pembangunan kilang Olefin TPPI dapat diselesaikan dengan baik sesuai dengan rencana terkini.

“Seluruh proses tender pengembangan kilang TPPI telah dilakukan secara transparan dan sesuai prosedur pengadaan yang berlaku dan tidak ada intervensi dari pihak luar," ujar Ifki Sukarya, Corporate Secretary Subholding Refining & Petrochemical beberapa waktu lalu.

Menurut dia, proses tender ini dijalankan Pertamina dengan pendampingan dari Tim Jamintel, Bareskrim Polri, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan juga berkonsultasi dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), sehingga governance-nya terjaga dengan baik.

Pertamina juga telah mengevaluasi sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang tercantum di dalam dokumen prakualifikasi.

Dalam pembangunan pabrik petrokimia tersebut, Pertamina memastikan penyerapan tingkat komponen dalam negeri sesuai dengan target minimal yang telah ditetapkan, yaitu 30%. Baik melalui barang maupun jasa, termasuk tenaga kerja lokal untuk dapat berkontribusi dalam operasional proyek.

Pembangunan Kilang GRR Tuban Kena Sentil

Sebenarnya tak hanya kilang TPPI, Jokowi juga turut meluapkan kekesalannya terhadap progres pembangunan kilang grass refinery root (GRR) Tuban yang merupakan kerja sama Pertamina dengan Rosneft, perusahaan minyak asal Rusia. Pasalnya nilai investasinya sangat besar, yakni mencapai Rp 168 triliun.

Namun hingga kini investasinya baru terealisasi Rp 5,8 triliun. "Mereka ingin cepat kitanya yang tidak ingin cepat, alasannya ada saja minta kereta api, jalan tol,” keluh Jokowi.

Sebelumnya PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PT PRPP) mengklaim terus melakukan progress dalam pembangunan kilang baru di Tuban. Bahkan PT PRPP telah memulai penggarapan desain rinci bersama Spanish Tecnicas Reunidas SA (Tecnicas Reunidas).

Kick-off meeting untuk membahas desain rinci (Front End Engineering Design/FEED) diselenggarakan secara daring pada April lalu bersama Tecnicas Reunidas, menyusul telah tuntasnya desain dasar (Basic Engineering Design/BED) pada awal tahun 2021.

Tecnicas Reunidas sendiri merupakan konsultan pelaksanaan kegiatan desain umum (General Engineering Design/GED). Dalam tahapan FEED, Tecnicas Reunidas mendapatkan kepercayaan untuk mengembangkan desain open-art units, sistem off-site dan utilities, pengawasan dan integrasi desain secara keseluruhan, termasuk data desain dari licensor (pihak pemberi lisensi).

Presiden Direktur PT PRPP Kadek Ambara Jaya mengatakan progres pekerjaan FEED hingga akhir Juni 2021 telah mencapai aktual 8,96% dibanding rencana di angka 3,53%. FEED ini menurut dia merupakan salah satu milestone penting dalam proyek pembangunan kilang GRR Tuban.

"Dari FEED ini, diharapkan didapatkan gambaran secara spesifik terhadap peralatan kilang dan infrastruktur yang akan dibangun di kilang GRR Tuban,” kata Kadek.

Progres lainnya yakni terkait aktivitas fisik pekerjaan Land Clearing Tahap 3, yang pada pertengahan Juni ini telah mencapai realisasi sekitar 35% dari target di angka 28%.

Proyek kilang ini diharapkan rampung pada 2027 dan dapat menjadi jawaban atas isu pemenuhan energi nasional. Apabila tidak ada pembangunan kilang baru, maka impor BBM Indonesia diperkirakan akan meningkat dari 0,53 juta barel per hari (bph) menjadi 1 juta bph atau setara dengan 68% kebutuhan energi nasional.

Masih Ada Pemburu Rente Dalam Pembebasan Lahan Kilang Tuban?

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan ada beberapa catatan penting terkait rencana pembangunan kilang oleh Pertamina. Untuk, Kilang Tuban misalnya, saat ini prosesnya masih berkutat dalam pembebasan lahan.

Di mana proses pembebasan lahan ini menjadi salah satu permasalahan dari setiap pembangunan infrastruktur. Apalagi, lahan yang dibutuhkan ini sampai ribuan hektar. Sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya.

Sementara, masih ada pihak-pihak yang mencari keuntungan dari pembebasan lahan ini. Hal ini pun membuat prosesnya menjadi panjang. Belum lagi soal relokasi warga yang terdampak akibat proyek ini pastinya tidak bisa dilakukan dengan cepat.

Pertamina - Rosneft (Katadata)

Adapun, seiring dengan proses pembebasan lahan yang tengah berjalan, menurut Mamit Pertamina dapat mengerjakan study engineering terlebih dulu. Sehingga ketika proses pembebasan lahan selesai, maka proses engineering juga bisa rampung dan bisa dilakukan dengan proses konstruksi.

Misalnya untuk saat ini terkait dengan lahan, engineering dan hal yang tidak berhubungan dengan konstruksi ada di ranah Pertamina. Sementara untuk pembangunan ada di ranah atau tanggung jawab Rosneft.

"Jadi pembagiannya sudah clear mengenai tanggung jawab masing-masing pihak. Apakah ada penumpang gelap? Saya kira Pertamina sebagai perusahaan besar sudah menjalankan prinsip-prinsip GCG dalam perusahaan mereka," ujarnya.

Bahkan Pertamina sudah bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk mengawal proyek-proyek strategis yang mereka lakukan. Sehingga jika ada pihak-pihak yang mencari keuntungan dan terbukti pasti akan berurusan dengan hukum.

"Harapan saya, melalui transparansi yang ada saat ini proses mencari keuntungan pribadi ini bisa dihilangkan. Jikapun Pertamina mendapatkan tekanan dari pihak lain, saya kira apa yang disampaikan Pak Presiden untuk membuka pintu 24 jam bisa digunakan untuk melaporkan jika ada tekanan," ujarnya.

Mega Proyek Kilang Masih Macet, Alasan Jokowi Banyak Rombak Direksi?

Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman menilai sejak 2014 lalu Presiden sudah mendorong agar Pertamina segera menyelesaikan pembangunan proyek kilang. Bahkan beberapa Direktur pada masa itu diganti lantaran kinerjanya tidak memuaskan apa yang diinginkan Presiden.

"Itu banyak sekali pergantian Direksi itu terkait ketidakberhasilan mereka bangun kilang minyak," katanya.

Selain itu, ia juga menyadari bahwa masih ada ketakutan bagi para direksi dalam pengambilan keputusan terkait bisnis saat ini. Pasalnya, jika suatu saat proyek disebut ditemukan merugi, maka sudah pasti direksi yang akan dimintai bertanggung jawab.

Misalnya untuk proyek pengembangan Refinery Development Master Plan atau RDMP Kilang Cilacap di Jawa Tengah. Setelah gagal bekerja sama dengan Aramco maka, perusahaan migas pelat merah ini tentu akan berhati-hati dalam mengembangkan proyek tersebut. Mengingat kilang minyak membutuhkan jaminan pasokan minyak mentah.

"Pertanyaannya kalau dia (Pertamina) bangun kilang itu minyak mentahnya dari mana. Kalau urusannya Pertamina kan rugi kalau gagal bermitra dengan Saudi Aramco," ujarnya.

Padahal kerja sama dengan Aramco ini sangat diharapkan dalam pengembangan proyek Kilang Cilacap. Mengingat, Saudi Aramco mempunyai produksi minyak mencapai 12 juta barel per hari.

Oleh sebab itu, dia mendorong agar Pertamina dapat bekerja sama dengan perusahaan migas kelas internasional. Terutama yang mempunyai lapangan minyak dengan produksi jumbo. "Dengan demikian itu akan mempengaruhi impor minyak kita. Ini bisnis yang perlu dipikirkan oleh pemerintah," katanya.

Pertamina Pangkas Kapasitas Pembangunan Kilang

Sebelumya, Pertamina juga merevisi target pengembangan kapasitas kilang dari yang semula sebesar 2 juta barel per hari (bph) menjadi 1,425 juta. Langkah ini dilakukan lantaran adanya transformasi energi yang semakin pesat.

Nicke Widyawati pada Mei lalu menjelaskan pihaknya telah meninjau ulang rencana mega proyek pengembangan kapasitas kilang. Pasalnya pemerintah juga telah mendorong ke arah pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dan pengembangan baterai kendaraan listrik di dalam negeri.

"Jadi dari 1 juta barel (ekspansi) menjadi 2 juta ini direvisi, sekarang menjadi 1,425 juta per hari. Jadi peningkatannya adalah 425 ribu per hari," kata Nicke dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII.

Adapun rinciannya tambahan 425 ribu bph ini nantinya akan berasal dari Grass Root Refinery (GRR) Tuban sebesar 300 ribu bph, kemudian dari Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan 100 ribu bph, dan dari Kilang Balongan 25 ribu bph.

Pertamina sebelumnya juga menyatakan, megaproyek modernisasi dan pembangunan kilang minyak RDMP dan GRR akan meningkatkan kapasitas produksi hingga dua kali lipat dari saat ini 1 juta bph menjadi 2 juta bph.

Mantan Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Ignatius Tallulembang pernah mengatakan bahwa peningkatan kapasitas produksi untuk mewujudkan cita-cita menjadi perusahaan kelas dunia pada 2025. Pertamina menargetkan pembangunan empat RDMP dan dua GRR yang terintegrasi dengan pabrik petrokimia.

Empat RDMP yang dimaksud yakni, Refinery Unit (RU) V Balikpapan; RU IV Cilacap; RU VI Balongan, dan RU II Dumai. Sedangkan dua GRR yang dibangun yakni, Tuban dan Bontang. "Kilang Pertamina ini nantinya akan menghasilkan produk bahan bakar minyak (BBM) yang ramah lingkungan dengan standar Euro 5," kata Tallulembang beberapa waktu lalu.

Namun, Nicke akhirnya menyatakan perusahaan hanya akan fokus mengerjakan lima proyek kilang, yaitu satu GRR di Tuban dan empat RDMP di Balikpapan, Cilacap, Balongan, dan Dumai. Hal ini setelah mitra perusahaan, Overseas Oil and Gas LLC atau OOG, mundur dari proyek Kilang Bontang.

"Sebelumnya ada enam, empat upgrade dan dua bangun baru. Itu kami koreksi, kami hanya bangun satu kilang baru dengan upgrade empat kilang eksisting dan yang baru Tuban, yang di Bontang tidak," ujar Nicke.

Reporter: Verda Nano Setiawan