JP Morgan memprediksi harga minyak menyentuh level US$ 125 per barel pada 2022 dan berpotensi menjadi US$ 150 pada 2023 jika kapasitas produksi negara-negara produsen minyak dan sekutunya, yang dikenal dengan sebutan OPEC+, tak mampu mengimbangi peningkatan permintaan global.
OPEC+ pun telah memutuskan untuk mempertahankan kebijakannya untuk meningkatkan pasokan minyak ke pasar bulanan secara perlahan sebesar 400.000 barel per hari. JP Morgan memperkirakan permintaan minyak global pada 2022-2023 mencapai 99,8-101,5 juta barel per hari.
“Setelah potensi volume produksi grup (OPEC+) sesungguhnya diketahui, ini akan mendorong premi risiko yang lebih tinggi untuk harga minyak. OPEC+ diperkirakan akan memperlambat peningkatan pasokan pada awal 2022 dan tidak mungkin meningkatkan pasokan jika harga minyak tak mendukung,” tulis laporan JP Morgan seperti dikutip dari Reuters pada Senin (6/12).
Harga minyak berfluktuasi secara signifikan dalam beberapa waktu terakhir, didorong oleh rencana Amerika Serikat (AS) melepas cadangan minyaknya ke pasar, serta kekhawatiran tentang varian baru virus corona yang bernama Omicron.
OPEC+ telah berselisih dengan Amerika, yang telah meminta kelompok itu untuk meningkatkan produksi guna membantu ekonomi global. Sedangkan produsen minyak menegaskan mereka tidak ingin menghambat pemulihan industri energi yang rapuh dengan membanjiri pasar dengan minyak.
"Dalam masa-masa yang tidak pasti ini, sangat penting bahwa kami - bersama dengan negara-negara non-OPEC tetap berhati-hati dalam pendekatan kami dan siap untuk proaktif karena kondisi pasar menjamin," kata presiden bergilir OPEC, Diamantino Pedro Azevedo.
Sejak Agustus, OPEC+ telah meningkatkan tambahan pasokan minyak global sebanyak 400.000 barel per hari (bph) secara bertahap untuk mengkompensasi pemotongan pasokan yang telah disepakati pada 2020 ketika permintaan melemah karena pandemi Covid-19.
"Secara umum, dampak Omicron saat ini tampaknya terkait bahan bakar jet, terutama di Afrika dan Eropa. Permintaan bahan bakar transportasi di Eropa mungkin juga terpengaruh," tulis laporan OPEC+.
Banyak negara telah melarang pelancong dari Afrika selatan dan beberapa negara Eropa telah memberlakukan pembatasan virus corona baru. Lebih banyak data terkait tingkat keparahan Omicron baru akan tersedia dalam dua minggu ke depan.
Goldman Sachs mengatakan penurunan harga minyak telah berlebihan, dengan pasar sekarang mulai price in dengan level permintaan 7 juta barel per hari. Rystad Energy mengatakan gelombang lockdown dapat mengakibatkan hilangnya permintaan hingga 3 juta barel per hari pada kuartal pertama 2022.
Bahkan sebelum kekhawatiran tentang Omicron muncul, OPEC+ telah mempertimbangkan dampak dari pengumuman Amerika Serikat dan konsumen utama lainnya untuk melepaskan cadangan minyak mentah darurat untuk meredam harga energi.
OPEC+ memperkirakan surplus tiga juta barel per hari pada kuartal pertama 2022 setelah rilis cadangan, naik dari 2,3 juta barel per hari sebelumnya. Namun dampak dari pelepasan cadangan tersebut tak signifikan karena sifatnya yang sukarela dan durasinya yang tidak pasti.
OPEC+ secara bertahap mengurangi rekor pengurangan produksi tahun lalu sebesar 10 juta barel per hari, setara dengan sekitar 10% dari pasokan global. Namun saat ini masih pasokan global masih 3,8 juta barel per hari lebih rendah dari level normal.
Produksi minyak OPEC pada bulan November juga kembali di bawah tingkat yang direncanakan, karena beberapa produsen kesulitan untuk menaikkan produksinya. Negara-negara OPEC+ pun diramal hanya dapat meningkatkan tambahan pasokannya ke pasar sebesar 300.000 barel per hari atau 100.000 barel lebih rendah.
Adapun harga minyak hari ini naik lebih dari US$ 1. Minyak jenis Brent naik US$ 1,61 (2,3%) menjadi US$ 71,49 per barel sedangkan West Texas Intermediate (WTI) Naik US$ 1,63 (2,5%) menjadi US$ 67,89 per barel.
Kenaikan harga hari ini didorong oleh keputusan Arab Saudi menaikkan harga minyaknya yang dijual ke pasar Asia dan Amerika. Harga minyak untuk pasar AS naik sekitar US$ 0,80 dibandingkan bulan sebelumnya.
Harga juga ditopang oleh meredupnya kemungkinan Iran untuk meningkatkan ekspor minyaknya karena pembicaraan nuklir dengan AS yang menemui jalan buntu. Akibatnya Iran masih harus menerima sanksi embargo dari AS lebih lama.