Tanpa Blok Masela, Indonesia Terancam Kekurangan Pasokan Gas pada 2027

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.
Ilustrasi. Pemerintah saat ini memiliki kontrak-kontrak Perjanjian Jual Beli Gas alias PJBG untuk pupuk, kelistrikan, industri, dan lainnya yang terancam tidak dapat terpenuhi jika Blok Masela tidak beroperasi.
Editor: Agustiyanti
8/12/2021, 18.18 WIB

Indonesia berpotensi kekurangan gas bumi jika proyek gas Blok Masela tidak beroperasi sesuai jadwal pada 2027.  Proyek raksasa ini menjadi kunci penting untuk menggantikan produksi gas lapangan-lapangan tua yang menurun. 

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (Sekjen DEN) Djoko Siswanto mengatakan, proyek gas Blok Masela akan meningkatkan ketahanan energi. "Kalau tidak ada Masela, misalnya tidak dapat berproduksi, kita akan kekurangan gas pada 2027," kata Djoko dalam webinar Blok Masela Dalam Pembangunan Ekonomi Masyarakat Maluku, Rabu (8/12).

Pemerintah saat ini memiliki kontrak-kontrak Perjanjian Jual Beli Gas alias PJBG untuk pupuk, kelistrikan, industri, dan lainnya. Namun, kontrak-kontrak ini berpotensi tak dapat terpenuhi dengan menurunnya produksi gas dari lapangan-lapangan yang ada saat ini. Adapun dengan beroperasinya Blok Masela, menurut dia, pemerintah berharap kontrak-kontrak dalam negeri yang sudah ada tersebut, dapat dilanjutkan. 

"Kalau itu sudah dipenuhi, kita ekspor. Jadi 65% produksi gas kita manfaatkan di dalam negeri, sisanya 35% ekspor," ujar Djoko.

Setidaknya, terdapat tujuh perusahaan potensial pembeli gas Blok Masela, antara lain yakni PGN, PLN, Pupuk Indonesia, China National Offshore Oil Corporation (CNOOC), CPC Corporation, Sinopec, dan Kyushu Electric.

Beroperasinya Blok Masela, menurut Djoko, juga akan memperbaiki penerimaan daerah. Ini karena adanya pembagian hak partisipasi atau Participating Interest (PI) 10%, selain bagi hasil migas. 

"Tidak hanya bisa memperbaiki penerimaan daerah, tetapi juga ekonomi daerah dengan serapan tenaga kerja, transfer teknologim, termasuk untuk pengadaan barang dan jasa," kata Djoko.

Meski demikian, ia menekankan bahwa pengembangan blok ini baru dapat dilakukan jika para pembeli telah menandatangani PJBG dengan volume kontrak minimum 80% kapasitas produksi. Tanpa adanya pembeli, tak ada jaminan pengembalian investasi dapat kembali.

"Jadi kalau misal 10 MMSCFD, 100 MMSCFD itu gak bisa juga investasi ini kembali, adi minimum 80% sudah terkontrak," katanya.

Menurut Djoko, harga gas menjadi kunci untuk mendapatkan pembeli gas yang serius. Pemerintah sendiri sudah memberikan banyak insentif untuk mengurangi harga gas agar pembeli tidak keberatan.

"Cari pembeli dulu yang pasti, dia mau harga berapa ketika sudah disepakati dan proyek ini belum ekonomis maka kontraktor bisa minta split kembali ke pemerintah, kalau dilakukan belum ekonomis maka perlu dicari cara lain," katanya.

Pemerintah hingga kini pemerintah masih mencari pengganti Shell Upstream Overseas Ltd dalam proyek gas abadi Blok Masela. Padahal, berbagai insentif telah diberikan pemerintah untuk pengembangan proyek gas abadi tersebut.

Insentif yang sudah diberikan, antara lain bagi hasil 50% untuk Inpex hingga 2055 dengan asumsi biaya investasi US$ 20 miliar, investment credit 80% di wilayah offshore dan 50% di wilayah onshore, serta internal rate return (IRR) yang mencapai 15%.

Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno sebelumnya mengatakan, tak dapat memastikan kapan proses divestasi ini selesai. Dia juga tidak mengetahui secara pasti mengenai siapa saja calon-calon mitra Inpex yang berminat menggantikan posisi Shell di Blok Masela.

"Diskusi masih berjalan alot. Sekarang calon bidder kan sudah ada dan sedang berdiskusi dengan Shell setelah melihat data-data. Tapi yang namanya negosiasi B to B ya memang alot," kata dia kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan, Inpex tetap melanjutkan aktivitasnya sambil menunggu proses mencari investor baru di Blok Masela rampung. Aktivitas mencakup kegiatan survei eksplorasi geografis laut (metocean survey), pembebasan lahan, dan mengurus AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan).

Reporter: Verda Nano Setiawan