Harga Batu Bara Merosot, Produsen Yakin Prospeknya di 2022 Masih Cerah

ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc.
10/12/2021, 14.22 WIB

Pengusaha sektor batu bara melihat prospek komoditas emas hitam pada 2022 masih cukup cerah meskipun harganya menjelang akhir tahun ini mulai berbalik arah setelah sempat mencapai rekor tertinggi dan turun cukup dalam.

Di Indonesia, Kementerian ESDM menetapkan harga batu bara acuan (HBA) Desember 2021 sebesar US$ 159,79 per ton. Angka tersebut turun US$ 55,22 per ton dibandingkan HBA November yang mencapai US$ 215,01 per ton.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menilai kenaikan harga hingga di atas US$ 200 per ton memang merupakan sebuah anomali. Sehingga kejatuhannya pun juga dirasakan akan cepat. Apalagi ditambah, intervensi kebijakan pemerintah Cina dalam menjaga kebutuhan batu bara domestik.

Meski demikian, dia optimistis harga batu bara di tahun depan masih akan cukup kuat. "Apalagi pemerintah Tiongkok membuat kebijakan untuk menekan harga. Di awal tahun depan permintaan diperkirakan masih cukup kuat," ujar Hendra kepada Katadata.co.id, Jumat (12/10).

Direktur Bumi Resources Dileep Srivastava optimistis pertumbuhan pasca pandemi dapat mendorong permintaan batu bara, terutama di pasar tradisional. Namun tingkat produksi batu bara domestik dan kebijakan sektor di Cina, India, Indonesia, dan tempat lain akan menjadi penentu yang mempengaruhi pasokan ekspor dan harga batu bara internasional serta domestik.

Meski begitu, komoditas ini merupakan aset yang akan habis pada masanya. Sehingga memerlukan pembaruan secara berkala. Sementara, dengan meningkatnya keengganan lembaga keuangan global untuk mendanai proyek batu bara, maka pasokan batu bara diperkirakan akan tetap rendah. Dibandingkan dengan peningkatan permintaan tahun depan dan seterusnya dengan potensi untuk menjaga harga batu bara tetap tinggi.

Selain itu, prospek berlanjutnya peristiwa La Nina meningkatkan risiko cuaca ekstrem seperti gelombang panas dan dingin yang cukup parah dan sulit diprediksi. Sehingga, pasokan akan tetap berada di bawah tekanan dengan prospek kenaikan harga batu bara.

Apalagi energi terbarukan saat ini terlihat tidak dapat diandalkan sebagai pengganti penuh batu bara. Misalnya seperti yang perusahaan buktikan di Jerman, Prancis, AS, Inggris, Cina dan Jepang pada tahun ini. "Harga batu bara saat ini di atas US$ 150 per ton dan kurva untuk tahun depan menunjukkan level yang mendekati ini," katanya.

Sekretaris Perusahaan PTBA Apollonius Andwie C mengatakan fluktuasi harga batu bara pada tahun depan diperkirakan masih akan terjadi. Hal tersebut karena adanya beberapa faktor. "PTBA sendiri selalu mengantisipasi volatilitas harga batu bara agar bisa menjaga kinerja positif perusahaan," ujarnya.

Sementara itu PT Adaro Energy Tbk memilih untuk lebih fokus pada keunggulan operasional bisnis inti, meningkatkan efisiensi dan produktivitas operasi, menjaga kas dan mempertahankan kinerja keuangannya daripada memikirkan fluktuasi harga batu bara.

"Harga batu bara tidak dapat kami prediksi, Adaro akan terus mengikuti perkembangan pasar dengan tetap menjalankan kegiatan operasi sesuai rencana di tambang-tambang milik perusahaan dengan terus berfokus untuk mempertahankan marjin yang sehat dan kontinuitas pasokan ke pelanggan," ujar Head of Corporate Communication Adaro, Febriati Nadira, kepada Katadata.co.id.

Dia menambahkan bahwa Adaro meyakini fundamental jangka panjang pasar batubara masih menjanjikan didukung oleh pertumbuhan terutama di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Selain menjaga ekspor di kawasan tersebut, Adaro juga akan mengikuti ketentuan DMO.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi sebelumnya menjelaskan, penurunan HBA dipengaruhi adanya intervensi kebijakan Pemerintah Tiongkok.

"Pemerintah Tiongkok telah meningkatkan produksi batu bara dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang berdampak pada meningkatnya stok batubara domestik Tiongkok," ujar Agung.

Selain itu, penurunan HBA bulan ini juga disebabkan oleh masih berlangsungnya krisis energi diikuti merangkaknya komoditas energi fosil di luar batu bara. "Peralihan penggunaan batu bara global akibat melonjaknya harga gas dan minyak bumi mulai ter-recovery," jelasnya.

Adapun penurunan HBA Desember sendiri merupakan kali pertama setelah hampir sepanjang tahun harga batu bara mengalami lonjakan. Dibuka pada level US$ 75,84 per ton di Januari, HBA mengalami kenaikan pada bulan Februari US$ 87,79 per ton, sempat turun di Maret US$ 84,47 per ton.

Selanjutnya terus mengalami kenaikan secara beruntun hingga bulan November 2021 pada angka US$ 215,01 per ton. Rinciannya, April di angka US$ 86,68; Mei US$ 89,74; Juni US$ 100,33; Juli US$ 115,35; Agustus US$ 130,99; September US$ 150,03; dan Oktober US$ 161,63.

Reporter: Verda Nano Setiawan