Rencana Kementerian ESDM yang akan melakukan penyesuaian tarif listrik (tariff adjustment) untuk pelanggan non subsidi tahun depan dinilai akan memicu inflasi. Sebab perekonomian belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi Covid-19 .
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menilai dampak tarif listrik yang naik akan memicu inflasi hingga 5%. Hal ini akan semakin parah mengingat tingkat inflasi di sektor pangan saat ini juga telah mengancam.
"Kalau ditambah inflasi dari sisi administered price atau harga yang diatur pemerintah maka tekanan pendapatan dunia usaha dan masyarakat makin membebani," kata Bhima kepada Katadata.co.id, Jumat (10/12).
Sementara, konsumsi rumah tangga untuk saat ini pemulihannya juga tidak merata. Setidaknya, terdapat kelompok rentan yang kesulitan mencari pekerjaan dengan upah layak dan beberapa Industri kapasitasnya juga belum penuh. "Inflasi diperkirakan bisa 4-5% pada 2022 jika pemerintah memaksa menyesuaikan tarif listrik," katanya.
Meskipun penyesuaian tarif nominalnya kecil, namun menurut Bhima efeknya akan direspon secara cepat ke harga barang. Ini membuat psikologis konsumen yang cenderung akan berhemat.
Sementara, Ketua Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan berpendapat penyesuaian tarif dasar listrik akan menurunkan daya saing produk industri manufaktur. Padahal industri manufaktur menjadi tumpuan pemulihan ekonomi nasional untuk saat ini.
"Kalau tarif akan naik, silahkan dikaji setelah ekonomi Indonesia sungguh-sungguh pulih, yaitu tercapainya defisit maksimal minus 3% pada tahun 2023, sesuai UU," ujarnya. Simak databoks berikut:
Setelah kajian atas realisasi angka tersebut dengan didukung indikator dasar lainnya yang benar-benar menguat. Maka kenaikan tarif listrik kata dia tidak menjadi soal. "Bila tahun 2022 naik, ini mirip dengan orang sakit berat baru mulai sembuh, belum pulih, tetapi dibiarkan bertarung bebas," katanya.
Yustinus berpendapat kenaikan energi berpotensi melemahkan daya saing dan menghilangkan momentum pemulihan ekonomi yang sudah terbentuk secara perlahan. Terutama selama 1,5 tahun terakhir ini yang sudah dimulai industri penerima Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
Kementerian ESDM sebelumnya mempertimbangkan penyesuaian tarif listrik untuk pelanggan non subsidi mulai tahun depan, dengan catatan kasus penularan Covid-19 di dalam negeri mulai berangsur turun.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan pemerintah dan Badan Anggaran DPR RI telah menyepakati kompensasi untuk penyesuaian tarif tahun depan akan diberikan hanya selama enam bulan. Pasalnya, tarif dasar listrik tak mengalami perubahan sejak 2017.
"Tahun 2022, kami sepakat dengan badan anggaran kalau sekiranya situasi pandemi Covid-19 makin membaik maka tarif listrik akan disesuaikan. Kami sepakat dengan DPR kompensasi penyesuaian tarif akan diberikan 6 bulan saja," ujarnya beberapa waktu lalu. Simak rata-rata tarif listrik per kelompok pelanggan pada databoks berikut:
Rida menjelaskan, penetapan tarif listrik PLN membaginya menjadi dua kategori, yakni pelanggan bersubsidi dan pelanggan non subsidi. Setidaknya 25 golongan diberikan subsidi, sementara 13 golongan lainnya tarif listriknya mengikuti pergerakan harga minyak Indonesia (ICP), inflasi, dan kurs dolar Amerika Serikat (AS).
Adapun tiga komponen harga tersebut akan menentukan naik atau turunnya tarif listrik. Namun karena beberapa alasan, pemerintah memilih untuk tidak melakukan penyesuaian sejak 2017. Terutama karena untuk menjaga daya beli masyarakat dan daya saing industri.
Selain itu Rida juga memastikan bahwa Indonesia tidak akan mengalami krisis energi yang sempat menimpa Cina dan Eropa beberapa waktu lalu. Pasalnya Indonesia telah mengamankan pasokan energi untuk kebutuhan dalam negeri.