Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengusulkan langkah-langkah yang bisa dilakukan pemerintah jika ingin serius mengembangkan industri logam tanah jarang di Indonesia. Langkah pertama adalah menyiapkan regulasi dalam bentuk peraturan Presiden.
Peraturan Presiden ini termasuk untuk mengatur pengumpulan seluruh monasit di Indonesia. Monasit merupakan sisa hasil pengolahan mineral timah yang nantinya dapat diekstraksi menjadi logam tanah jarang.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Riset dan Teknologi Bahan Galian Nuklir (PRTBGN) BRIN Yarianto Sugeng Budi Susilo menilai percepatan ekstraksi monasit menjadi logam tanah jarang sangat tergantung dari kesediaan pemerintah, terutama dalam menugaskan BUMN untuk membangun industri ini.
"PR jangka pendek. Buat Perpres Industri logam tanah jarang, termasuk pengaturan untuk pengumpulan seluruh monasit," ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (16/12).
Dia menambahkan bahwa penyempurnaan dapat dilakukan secara beriringan. Pada prinsipnya, Indonesia harus menguasai terlebih dulu teknologinya, paling tidak sampai pada pembuatan beberapa oksida penting seperti cerium (Ce), lanthanum (La), neodymium (Nd), gadolinium (Gd), dan yttrium (Y).
Langkah berikutnya, pemerintah dapat memberikan insentif untuk perusahaan start up yang ingin terlibat dalam pemanfaatan mineral langka ini. Kemudian, melakukan perhitungan secara detail cadangan logam tanah jarang pada Izin Usaha Pertambangan (IUP) Timah dan tambang rakyat.
"Target jangka panjang adalah eksplorasi dan riset ekstraksi logam tanah jarang pada mineral yang berbeda, sebagai jaminan ketersediaan sumber daya dan keberlanjutan industri ini," katanya. Simak databoks berikut:
Dia menambahkan bahwa produksi logam tanah jarang Indonesia tidak akan sebesar Cina, namun pemanfaatannya akan sangat menguntungkan secara geostrategi dan geopolitik.
Sebab dapat mengurangi ketergantungan pada pasokan material strategis dan kritis, terutama untuk keperluan bahan baku teknologi maju. "Sampai dengan skala pilot, kita sudah menguasai teknologi ekstraksi, pemisahan dan pemurnian," ujarnya.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli mengatakan sebenarnya sudah banyak penelitian dan pengembangan teknologi pemanfaatan logam tanah jarang di tanah air. Namun belum banyak dikembangkan secara komersial. "Banyak yang berupa skala laboratorium dan pilot project," ujarnya.
Dasar hukum untuk penelitian riset dan inovasi pengembangan industri berbasis logam tanah jarang di Indonesia juga telah ada. Seperti nota kesepahaman antara Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, Kementerian BUMN, BATAN, dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Kementerian Perindustrian bahkan juga telah menerbitkan sebuah regulasi yang mengatur pengembangan industri logam tanah jarang di Indonesia. Aturan tersebut termuat dalam Kepmen Perindustrian No. 236 tahun 2018 tentang Pembentukan Tim Pengembangan Industri Berbasis Logam Tanah Jarang.
Beberapa pilot project tersebut salah satunya yakni BATAN dengan anak usahanya PT Sigma Utama. Sigma telah mengembangkan cat anti radar merek Sigma Utama Paint dengan basis logam tanah jarang yakni LaMnO3 (Lantalum), (La,Ba)MnO3 yang bersifat paramagnetic dan feromagnetik.
Kemudian PT Timah telah mengembangkan thorium (Th) dari monasit sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir di Pulau Bangka. Teknologi tersebut sudah banyak dikomersilkan di negara-negara lain yang sudah maju teknologinya seperti Perancis, Jerman, Australia, Canada, Cina, Amerika.
Sehingga, dia menyarankan untuk dapat masuk ke industri logam tanah jarang, maka pemerintah harus mengakuisisi teknologi pengolahannya. Teknologi tersebut tergantung kepada jenis LTJ yang akan dikembangkan.
Kemudian langkah lainnya yakni dengan meningkatkan anggaran riset di dalam negeri terutama untuk mengembangkan teknologi yang diinginkan sesuai dengan jenis logam tanah jarang yang ingin dikembangkan.
"Sekarang kita sudah ada BRIN yang bertanggung jawab kepada Presiden untuk itu. Seharusnya BRIN bisa bergerak cepat untuk hal tersebut," katanya.
Namun jika belum dapat menghasilkan teknologi secara mandiri, pemerintah dapat melakukan proses akuisisi dari luar negeri terlebih dahulu. Ini dilakukan supaya Indonesia bisa segera melakukan transfer teknologi.
"Memang akan mahal biayanya untuk membeli lisensi, mesin dan peralatan untuk itu. Harus ada link & match antara Lembaga Penelitian dan industri agar pengembangan secara komersial dapat dilakukan dengan menguntungkan," katanya.
Langkah lain yang harus dilakukan yakni dengan mengintensifkan eksplorasi dan penelitian LTJ di Indonesia. Sebab, hampir dari 17 unsur LTJ yang ada, Indonesia belum memiliki data sumber daya dan cadangan yang dihasilkan dari kegiatan eksplorasi.
"Semua masih dalam kategori hipotesis saja. Sehingga masih sulit untuk dilakukan kajian ekonominya karena ketersedian sumber daya dan cadangan belum ada," katanya.