Larangan Ekspor Berpotensi Ganggu Produksi hingga Investasi Batu Bara

ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/wsj.
Sebuah truk pengangkut batu bara melintasi jalan tambang batu bara di Kecamatan Salam Babaris, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, Rabu (7/7/2021).
Penulis: Happy Fajrian
2/1/2022, 11.56 WIB

Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menyatakan keberatannya atas kebijakan pemerintah yang melarang ekspor batu bara selama satu bulan di awal tahun ini. Sebab kebijakan ini berpotensi mengganggu produksi hingga investasi di sektor ini.

Kebijakan ini berdasarkan Surat dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM atas nama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor B-1605/MB.05/DJB.B/2021 tertanggal 31 Desember 2021 perihal Pemenuhan Kebutuhan Batubara untuk Kelistrikan Umum.

Inti dari surat adalah Pemerintah mengambil kebijakan melarang penjualan batubara ke luar negeri sejak tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Januari 2022 secara umum dan menyeluruh karena adanya laporan PLN perihal kondisi persediaan batubara untuk PLTU yang sangat rendah.

“Larangan ekspor akan memiliki dampak signifikan terhadap industri pertambangan batu bara secara umum dan aktivitas ekspor batu bara yang sedang digalakkan pemerintah sebagai salah satu penghasil devisa utama negara,” ujar Ketua Umum APBI Pandu Sjahrir dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (2/1).

Beberapa dampak kebijakan larangan ekspor ini menurut APBI di antaranya:

  1. Volume produksi batu bara nasional akan terganggu sebesar 38-40 juta metrik ton per bulan;
  2. Pemerintah akan kehilangan devisa hasil ekspor batu bara sebesar kurang lebih US$ 3 miliar (Rp 42,7 triliun) per bulan;
  3. Pemeirntah akan kehilangan pendapatan pajak dan non pajak (royalti) yang mana hal ini juga berdampak pada kehilangan penerimaan pemerintah daerah;
  4. Arus kas produsen batu bara akan terganggu karena tidak dapat menjual batu bara ekspor;
  5. Kapal-kapal tujuan ekspor hampir semuanya adalah kapal-kapal yang dioperasikan atau dimiliki oleh perusahaan negara-negara tujuan ekspor. Kapal-kapal tersebut tidak akan dapat berlayar menyusul kebijakan pelarangan penjualan ke luar negeri ini yang dalam hal ini perusahaan akan terkena biaya tambahan terhadap penambahan waktu pemakaian (demirrage) yang cukup besar antara US$ 20.000-40.000 (Rp 285-570 juta) per hari per kapal. Ini akan membebani perusahaan-perusahaan pengekspor yang juga akan berdampak terhadap penerimaan negara.
  6. Kapal-kapal yang sedang berlayar ke perairan Indonesia juga akan mengalami kondisi ketidakpastian dan hal ini berakibat pada reputasi dan keandalan Indonesia sebagai pemasok batu-bara dunia;
  7. Deklarasi force majeur secara masif dari produsen batu bara karena tidak dapat mengirimkan batu bara ekspor kepada pembeli yang sudah berkontrak, sehingga akan banyak sengketa antara penjual dan pembeli;
  8. Pemberlakuan larangan ekspor secara umum akibat ketidakpatuhan dari beberapa perusahaan akan merugikan bagi perusahaan yang patuh dan bahkan seringkali diminta untuk menambal kekurangan pasokan;
  9. Menciptakan ketidakpastian usaha sehingga berpotensi menurunkan minat investasi di sektor
    pertambangan mineral dan batubara.

Menurut Pandu, solusi untuk mengatasi kondisi krisis persediaan batu bara PLTU grup PLN termasuk IPP seharusnya dapat didiskusikan terlebih dahulu dengan para pelaku usaha untuk menemukan solusi yang terbaik bagi semua pihak.

Ia menilai keputusan larangan ekspor dalam rangka pemenuhian DMO 2022 tidak tepat karena pelaksanaan DMO dilakukan dalam setahun yang dihitung dari Januari hingga Desember. Selain itu pasokan batu bara ke PLTU PLN maupun IPP bergantung pada kontrak penjualan dengan masing-masing pemasok serta implementasi ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak tersebut.

“Anggota APBI telah berupaya maksimal memenuhi kontrak dan aturan penjualan batu bara untuk kelistrikan nasional sebesar 25% di tahun 2021, bahkan sebagian telah memasok lebih dari kewajiban DMO tersebut, juga kebijakan harga patokan maksimal,” kata Pandu.

APBI juga mendukung penuh keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021 khususnya yang melarang penjualan batu bara ke luar negeri sampai dengan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) memenuhi kebutuhan batubara dalam negeri sesuai persentase penjualan atau sesuai dengan kontrak penjualan.

“Kecuali bagi yang tidak memiliki kontrak penjualan dengan pengguna batu bara di dalam negeri atau spesifikasi batu baranya tidak memiliki pasar dalam negeri,” kata Pandu.