Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) menyesalkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi atau RUU Migas tidak masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2022.

Peneliti PUSHEP, Akmaluddin Rachim, menilai tidak dimasukkannya RUU Migas dalam agenda Prolegnas Prioritas menunjukkan bahwa DPR dan pemerintah tidak memiliki keseriusan, terutama dalam memperbaiki sistem tata kelola migas.

Padahal pemerintah dan DPR seringkali mendengungkan target produksi minyak 1 juta barel per hari (bopd) dan gas 12 miliar standar kaki kubik per hari (bscfd) pada 2030 mendatang. Sementara, aturan mainnya yakni UU Migas tak kunjung diperbaiki.

"Target tersebut terlalu besar jika dibandingkan dengan realisasi lifting minyak hingga November 2021, yang hanya mencapai 657 ribu barel minyak per hari dan dihadapkan sejumlah kenyataan di lapangan seperti kebakaran kilang minyak," kata Akmaluddin dalam keterangan tertulis, Selasa (11/1).

Di samping itu, pemerintah juga dihadapkan pada kondisi dimana sejumlah pemain migas global mulai beramai-ramai meninggalkan Indonesia. Hengkangnya investor tersebut pun dapat berakibat pada lesunya kegiatan usaha minyak di dalam negeri.

Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa kegiatan berinvestasi pada sektor usaha minyak di Indonesia tidak lagi menarik bagi investor asing. Hal ini bisa disebabkan lantaran aturan dasar migas tidak memberikan kemudahan dan kepastian hukum dalam melakukan kegiatan usaha migas.

“Kehadiran UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga, yang digadang-gadang dibuat untuk memberikan kemudahan berinvestasi di Indonesia, nyatanya tidak memiliki efek dalam menggaet investasi sektor migas," kata Akmaluddin.

Ia pun mendorong RUU Migas dapat menjadi prioritas dalam prolegnas 2022. Mengingat, RUU Migas memiliki urgensi untuk segera dilakukan pembahasan dan perlu segera dirampungkan.

“Bayangkan saja, sejak 2010 undang-undang tersebut masuk dalam Prolegnas. Pada kurun waktu 2015-2019, RUU Migas selalu masuk dalam agenda Prolegnas Prioritas. Pembahasan RUU Migas terakhir saat itu, sampai pada tahap presiden telah menyampaikan surat presiden (Surpres) kepada DPR. Kendati demikian, presiden saat itu belum menyerahkan DIM dalam lampiran surpresnya” ujarnya.

Setidaknya terdapat lima urgensi perubahan UU Migas, yang secara prinsip mengharuskan segera dilakukan perubahan.

Satu, perubahan UU Migas merupakan keharusan karena sejumlah pasal dalam UU Migas telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No. 002/PPU-I/2003, Putusan MK No. 20/PUU.V/2007, dan Putusan MK No. 36/PUU-X/2012.

Dua, perubahan UU Migas perlu untuk segera memperbaiki sistem tata kelola Migas. Sistem tata kelola yang dimaksud adalah penguatan kelembagaan dan memperjelas peran masing-masing stakeholder kegiatan usaha migas. Hal ini menyangkut pengelolaan dan pengusahaan migas dari hulu hingga hilir.

Tiga, perubahan UU Migas perlu untuk memberikan kepastian hukum terhadap kegiatan usaha di sektor Migas. Kepastian hukum ini sangat penting dalam menjaga iklim investasi di sektor Migas.

"Kegiatan usaha migas ini memerlukan investasi yang sangat besar. Bila tidak ada kepastian hukum mana ada investor yang tertarik. Contoh, fleksibilitas penggunaan skema cost recovery atau gross split dalam kegiatan usaha Migas ini relatif tidak memberikan kepastian hukum,” kata Akmaluddin.

Contoh lainnya yakni terkait ketentuan apakah menggunakan skema perizinan berusaha atau kontrak, sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU Migas.

Empat, perubahan UU Migas perlu sebagai landasan hukum dalam melaksanakan percepatan dan optimalisasi pemanfaatan Migas. Revisi UU Migas menjadi sangat penting karena optimalisasi pemanfaatan migas dibutuhkan mengingat saat ini sedang memasuki era transisi energi dari energi fosil ke energi nonfosil.

Lima, perubahan UU Migas menjadi momentum yang tepat dalam merumuskan peta jalan arah kebijakan energi nasional ke depannya. Perubahan tersebut menjadi keharusan untuk menjawab kebutuhan permasalahan kegiatan usaha Migas dan juga untuk mengikuti perkembangan terkini.

“Saat ini kita sedang dalam transisi energi. Tren global memperlihatkan adanya kecenderungan untuk meninggalkan energi fosil. Lembaga pembiayaan dunia juga tidak lagi tertarik memberikan pembiayaan pada kegiatan usaha yang berbasis energi fosil," ujarnya.

Akmaluddin pun mengusulkan agar pemerintah segera merampungkan terlebih dahulu RUU EBT yang saat ini tengah dalam tahap harmonisasi. Apabila RUU EBT dapat diundangkan pada triwulan pertama 2022, maka DPR dan pemerintah dapat memasukkan RUU Migas menjadi Prolegnas RUU prioritas tahun 2022.

"Sangat dimungkinkan apabila DPR dan pemerintah memiliki keinginan kuat memperbaiki tata kelola migas dengan memasukkan RUU Migas menjadi Prolegnas prioritas tahun 2022 dengan catatan RUU EBT dirampungkan terlebih dahulu," kata dia.

Reporter: Verda Nano Setiawan