Di Tengah Krisis Pasokan PLN, Anggota DPR Singgung Nama Ratu Batu Bara
Di tengah isu krisis pasokan batu bara yang membelit PLTU milik PT PLN, Anggota Komisi VII DPR, Muhammad Nasir, menyebut bahwa terdapat pengusaha nakal yang mencuri batu bara karena beroperasi memproduksi mineral hitam itu tanpa memiliki izin tambang.
Ia menyebut pengusaha nakal tersebut sebagai sebagai ratu batu bara. Julukan tersebut diberikan lantaran ratu batu bara ini disebut dapat memproduksi hingga 1 juta ton per bulan, bahkan bisa mengekspor ke luar negeri.
"Ada ratu batu bara gak ditangkap-tangkap. Ini produksinya 1 juta per bulan. Tapi gak ada laporan ESDM ke kita. Tan Paulin (namanya). Saya bilang tangkap orang ini," ujarnya dalam Rapat Kerja Komisi VII dengan Menteri ESDM di Gedung Parlemen, Kamis (13/1).
Menurut Nasir gara-gara ulah ratu batu bara tersebut, infrastruktur yang dibangun pemerintah daerah menjadi rusak. Namun sampai saat ini oknum tersebut tidak pernah ditangkap dan diusut.
"Tapi gak ditangkap juga orang ini. Apa duitnya sampai ke Kementerian? Karena 1 juta (ton) satu bulan dengan harga Rp 2,5 juta batu bara RP 2,5 triliun itu uangnya. Sampai saya panggil Kapolda ini siapa kenapa gak ditangkap juga. Pak Menteri kok santai saja," katanya.
Menteri ESDM Arifin Tasrif pun membantah apa yang ditudingkan Nasir kepadanya. Ia lalu mengingatkan supaya Nasir berbicara sesuai fakta yang ada. Keduanya pun sempat berdebat.
"Saya rasa bapak harus bicara fakta yang betul," kata Arifin.
"Saya bicara pakai fakta nanti datanya bapak bawa," kata Nasir.
Kemudian dijawab kembali oleh Arifin, "apa yang sampaikan tidak benar".
Seperti diketahui, PLN telah melapor kepada pemerintah terkait kondisi pasokan batu bara untuk PLTU yang kritis. Jika tidak segera ditangani, maka berpotensi terjadi blackout atau pemadaman listrik massal secara nasional.
Pemerintah merespon laporan tersebut dan mengeluarkan kebijakan untuk melarang ekspor batu bara mulai 1 Januari hingga 31 Januari 2022. Sebab krisis pasokan ini terjadi lantaran produsen batu bara tidak memenuhi kewajiban DMO 25% dari total produksi.
Tak hanya melarang ekspor, bahkan pemerintah mengancam akan mencabut izin tambang perusahaan yang tak memenuhi DMO. Menurut data Kementerian ESDM, ada 490 perusahaan yang izinnya terancam dicabut karena pemenuhan DMO-nya kurang dari 25%, bahkan ada yang nihil.