Pemerintah menyiapkan dana kompensasi kepada Pertamina atas campuran BBM jenis Premium di dalam Pertalite hingga Rp 30 triliun. Hal itu menyusul dengan adanya kenaikan harga minyak mentah dunia yang telah menembus US$ 90 per barel.

Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Usaha BUMN, Riset, dan Inovasi Kemenko Perekonomian Montty Girianna mengatakan sejak Januari 2021, perhitungan keekonomian harga BBM jenis Pertalite terus mengalami kenaikan seiring dengan melambungnya harga minyak dunia, dari Rp 6.000 per liter kini menjadi Rp 11.000 per liter.

Sementara, harga jual Pertalite ke masyarakat masih di Rp 7.650 per liter. Agar tidak berdampak kepada masyarakat dan keuangan Pertamina, pemerintah berencana menyiapkan dana kompensasi sekitar Rp 25-30 triliun. Hal tersebut agar harga jual Pertalite ke masyarakat tidak ikut naik.

"Pemerintah sepakat untuk memberikan kepastian angka itu disediakan pemerintah, dan gak akan melebihi angka yang tahun sebelumnya. Jadi gak lebih dari itu Rp 25-30 triliun mungkin ya. Tapi itu masih nanti sih sepertinya," kata dia dalam diskusi Energy Corner, (2/2).

Meski demikian, agar tepat sasaran, ke depan pemerintah juga berencana untuk mengalihkan pemberian subsidi BBM secara langsung ke masyarakat. Sembari menunggu hal tersebut terlaksana, pemerintah akan tetap melakukan pemberian skema kompensasi yang ada saat ini.

"Tapi kalau sudah siap, ini subsidi langsung ya itu tepat. Kita juga lihat bagaimana performance kompensasi yang ada ini dalam beberapa bulan kedepan. Ini kan kita evaluasi periodik ya," ujarnya.

Montty optimistis pemerintah masih cukup kuat untuk memberikan dana kompensasi kepada Pertamina. Pasalnya, pergerakan harga minyak mentah dunia selalu bersifat dinamis dan tidak selamanya terus mengalami kenaikan.

Harga minyak jenis Brent untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun menembus US$ 90 per barel pada perdagangan Rabu (26/1). Meskipun ketika itu Brent ditutup pada level US$ 89,96 atau naik US$ 1,76 dibandingkan penutupan sehari sebelumnya.

Pada perdagangan Jumat (28/1), Brent sempat menyentuh level US$ 91,70 per barel. Harga minyak acuan global ini kini bergerak di level US$ 89,40 per barel. Sedangkan West Texas Intermediate (WTI) juga terus naik mendekati US$ 90 per barel ke level US$ 88,45.

Ketatnya pasokan di tengah pulihnya permintaan, serta kondisi geopolitik yang memanas antara Rusia dan Amerika Serikat (AS) terkait isu Ukraina menjadi faktor pendorong naiknya harga minyak. Simak databoks berikut:

Di sisi lain, negara-negara produsen minyak dunia yang tergabung dalam OPEC dan sekutunya Rusia, OPEC+, belum akan mengubah kebijakan untuk menaikkan produksi secara bertahap sebesar 40.000 barel per hari.

"OPEC+ kemungkinan akan mempertahankan kebijakannya, yang berarti kekurangan pasokan dan tren kenaikan harga minyak akan terus berlanjut," kata analis komoditas di Rakuten Securities, Satoru Yoshida, seperti dikutip Reuters, Rabu (2/2).

Sementara Rusia dilaporkan telah memobilisasi ribuan pasukannya ke perbatasan Ukraina. Hal ini memicu kekhawatiran pasar bahwa invasi terhadap Ukraina sudah di depan mata. Jika terjadi, konflik dikhawatirkan mengganggu pasokan gas ke Eropa. Rusia juga merupakan salah satu negara pengekspor minyak terbesar dunia.

"Pasar khawatir pasokan terganggu. Kemungkinan besar pasokan akan berlanjut, tapi risikonya tak dapat diabaikan sesuatu dapat mengganggu keseimbangan pasar," ujar kepala penasihat dan analis geopolitik di S&P Global Platts, Paul Sheldon, beberapa waktu lalu, Kamis (27/1), seperti dikutip Reuters.

Reporter: Verda Nano Setiawan