Persulit Industri Pasang PLTS Atap, PLN Merasa Bisnisnya Terancam?

Danone Indonesia
PLTS Atap berkapasitas 2,9 megawatt peak (MWp) di Pabrik Danone-Aqua, Klaten, Jawa Tengah.
17/2/2022, 18.57 WIB

Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menilai kehadiran pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap menjadi ancaman bagi keberlangsungan bisnis PLN. Perusahaan setrum pelat merah ini dituding mempersulit pelanggan industri yang ingin memasang pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) itu.

Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa mengatakan saat ini pihaknya telah menyampaikan persoalan yang menimpa beberapa anggotanya kepada Kementerian ESDM. Terutama terkait kendala mendapatkan perizinan penyambungan PLTS atap oleh PLN.

"Kami sudah sampaikan ke Kementerian ESDM persoalannya. Ke PLN secara verbal sudah disampaikan. PLN memang melihat PLTS atap ancaman karena bisa menurunkan permintaan listrik," kepada Katadata.co.id, Kamis (17/2).

Padahal, sebagian besar industri khususnya perusahaan multinasional dan ekspor saat ini ingin sekali menggunakan PLTS atap sebagai sumber energi dalam proses produksinya. Pasalnya, mereka memiliki target pemanfaatan energi terbarukan dan komitmen ESG untuk menurunkan jejak karbon.

"Persoalannya, intensitas emisi listrik PLN cukup tinggi, di Jawa-Bali 0.87 tCO2/MWh. Jadi kalau 100% industri hanya pakai listrik PLN maka sukar menurunkan emisi," kata Fabby.

Menurut Fabby penggunaan PLTS atap dapat membantu industri dalam menurunkan intensitas emisi dan jejak karbon produk mereka, sekaligus mencapai target pemanfaatan energi terbarukan.

Saat ini perusahaan nasional juga telah mulai meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan. Sehingga potensi pemanfaatan PLTS atap diprediksi akan tinggi.

"Estimasi saya PLTS atap C&I bisa mencapai 200-300 MW tahun ini, dan setelahnya bisa tumbuh mencapai 500-800 MW per tahun sampai 2025," ujarnya.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyadari persoalan tersebut terjadi di lapangan.

Untuk itu, pihaknya akan berkoordinasi dengan kedua belah pihak agar persoalan tersebut dapat diselesaikan. "Kami sedang terus koordinasi dengan PLN dan MMKI agar regulasi Permen 26/2021 bisa berjalan," kata Dadan.

Sebelumnya, Corporate Strategy General Manager Mitsubishi Motors Krama Yudha Indonesia, Diantoro Dendi bercerita bahwa pihaknya mengajukan permohonan pemasangan PLTS atap pada April 2021 dengan memenuhi berbagai persyaratan dan aspek teknis yang diminta PLN.

Permohonan tersebut baru direspons PLN sembilan bulan kemudian yakni pada 26 Januari 2022, dan dengan tambahan persyaratan/permintaan yang bertentangan dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap.

"Sampai hari ini kami belum menjawab draf proposal dari PLN, sampai kami mendapat kejelasan. Belum terjadi titik temu," kata dia dalam Media Briefing Asosiasi Energi Surya Indonesia, Selasa (15/2).

Diantoro membeberkan beberapa persyaratan tambahan dari PLN tersebut di antaranya kapasitas maksimal PLTS atap untuk Mitsubishi hanya sebesar 1,75 megawatt peak (MWp). Sementara jika mengacu pada Permen PLTS atap, pelanggan dapat memasang hingga 100% kapasitas sambungan ke PLN.

Kemudian PLN juga meminta pengoperasian PLTS atap dibatasi pada hari Sabtu, Minggu, dan libur nasional. Dalam aturan terbaru juga tidak mengatur pembatasan operasional PLTS atap.

Terakhir, PLN juga meminta tarif ekspor impor listrik dari unit PLTS atap Mitsubishi hanya sebesar 65%. Padahal dalam aturan baru tarif ekspor impor PLTS atap ditetapkan 100% yang dapat diperhitungkan untuk mengurangi tagihan listrik dari PLN.

AESI mencatat sepanjang 2021 anggotanya melaporkan kendala mendapatkan perizinan penyambungan PLTS atap untuk klien C&<. Setidaknya terdapat 14 pengaduan yang masuk pada periode November-Desember 2021, mayoritas terjadi di Jawa Barat.

Ada tiga masalah utama. Pertama, adanya permintaan dokumentasi atau kajian tambahan saat pengajuan perizinan. Kedua, proses perizinan yang lama, lebih dari 15 hari. Ketiga, permohonan izin melalui OSS mengharuskan pemohon untuk memiliki KBLI (klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia) tertentu.

Reporter: Verda Nano Setiawan