Pemerintah melalui Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mencabut 2.078 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pakar Hukum Pertambangan, Ahmad Redi, menilai keputusan Bahlil tersebut dianggap tidak sah.
Alasannya, berdasarkan UU Minerba No. 3 Tahun 2020, penerbitan dan pencabutan IUP hanya boleh dilakukan oleh Menteri ESDM. Sehingga dia menilai keputusan Menteri Bahlil dalam mencabut IUP tersebut tak memiliki landasan hukum.
"Surat keputusan Menteri Investasi yang mencabut 2.000 sekian IUP itu tidak sah berdasarkan analisis akademik, dalam UU Minerba diatur kewenangannya ada pada Menteri ESDM," kata Redi dalam webinar, Jumat (4/3).
Dia mengingatkan pemerintah dalam membuat keputusan setidaknya perlu memiliki tiga landasan kuat yakni filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dia menilai dalam pencabutan IUP ini, pemerintah tidak memenuhi landasan tersebut."Tiba-tiba perusahaan tambang izinnya dicabut enggak ada filosofisnya," kata dia.
Dari segi yuridis dia mempertanyakan aturan yang menjadi landasan keputusan tersebut. "Salah satu ciri negara hukum adalah ada peradilan administrasi negara. Rakyat mempunyai hak untuk mengoreksi keputusan dari pejabat atau badan publik," ujarnya.
Redi menyadari meskipun pencabutan IUP atas perintah dari Presiden Joko Widodo, tapi pencabutan melalui Menteri Investasi tetap tak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Presiden pun harus mengikuti ketentuan undang-undang.
"UU Minerba mengatur Menteri ESDM yang menerbitkan dan mencabut IUP. Bila ingin memberikan kewenangan pada BKPM harus ada UU juga terkait pencabutan IUP oleh BKPM," katanya.
Untuk itu, dia memberikan rekomendasi bagi perusahaan yang keberatan dengan keputusan pencabutan IUP, dapat mengambil beberapa langkah. Salah satunya dengan menyurati Menteri Investasi/Kepala BKPM. Adapun bila upaya administrasi tidak tercapai, perusahaan dapat menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Presiden Jokowi pernah mengumumkan pencabutan 2.078 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tak berkegiatan. Jokowi lantas menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi. Aturan ini yang menjadi dasar pencabutan IUP.
Bahlil Lahadalia yang juga menjabat Ketua Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi menindaklanjuti Keppres tersebut.
Bahlil mengatakan, pemerintah awalnya meninjau 2.343 izin perusahaan. Kemudian pada tahap pertama, sebanyak 2.078 izin mulai dicabut bertahap mulai Senin, 10 Januari. Sementara sebanyak 265 IUP lainnya masih akan diverifikasi.
Bahlil menjelaskan izin yang dicabut itu lantaran perusahaan tidak beroperasi. Padahal, perusahaan telah mengantongi izin usaha, termasuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), tapi tidak juga dieksekusi.
Ada pula yang telah mengantongi izin usaha, IPPKH, tapi justru perusahaan tidak kunjung menyampaikan Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB). "Ada juga izin yang dikasih tapi orangnya enggak jelas. Ada juga izinnya dikasih tapi dicari lagi orang untuk jual izin. Kayak begini nih enggak bisa lagi. Kita harus bicara dalam konteks keadilan," kata dia, dikutip dari Antara.
Belakangan, Bahlil mencabut 180 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Jumlah tersebut meliputi 112 IUP mineral dan 68 IUP batu bara. Penjelasan ini disampaikan Kementerian Investasi/BKPM.
“Jadi sebelumnya Menteri Investasi/Kepala BKPM menandatangani 19 surat pencabutan IUP, lalu bertambah 161 sehingga total sudah 180 IUP yang resmi kami cabut. Pencabutan IUP ini akan terus kami lakukan secara bertahap,” kata Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Imam Soejoedi dalam keterangan resmi, Selasa (15/2).
Berikut simak Databoks penyebaran lokasi dari 112 IUP yang dicabut BKPM: