Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) menilai pemerintah Indonesia harus menangkap peluang dari tingginya harga minyak dan gas dunia akibat perang Rusia dan Ukraina.
Mengutip Bloomberg pada Senin (21/3) pagi, harga minyak mentah jenis Brent ada di level US$ 111 per barel, sedangkan West Texas Intermediate (WTI) di level US$ 107,81 per barel.
Sekretaris Jenderal Aspermigas Moshe Rizal mengatakan Indonesia sebaiknya mulai aktif menarik investor migas dengan mempermudah aturan dan menjamin kepastian hukum dan investasi.
Sebab perusahan migas dalam negeri seperti Pertamina masih perlu berkolaborasi dengan investor asing untuk pengembangan ekplorasi dan teknologi.
“Perusahaan dalam negeri tidak banyak sekelas international oil company seperti Aramco, dan mereka perlu kolaborasi dengan investor luar untuk mengelola lapangan (migas). Pemerintah harus menciptakan iklim investasi yang tepat dengan insentif dan kepastian hukum,” kata Moshe dalam Energy Corner, Senin (21/3).
Moshe menjelaskan, potensi cadangan minyak Indonesia yang telah diketahui mencapai 4 miliar barel. Jumlah tersebut bisa bertambah karena masih ada sejumlah lapangan yang belum tereksplorasi. Sementara, cadangan gas yang sudah ditemukan 62 triliun kaki kubik (TCF).
Walau memiliki potensi cadangan migas yang besar, lapangan atau lokasi ekplorasi sudah berada di kawasan laut lepas dan wilayah Indonesia Timur yang belum mendukung secara infrastruktur. Hal tersebut yang dinilai menjadi faktor membengkaknya biaya produksi.
“Kendala infrastuktur itu yang belum terbangun, itu yang membuat biaya produksi, ekplorasi dan operasi itu mahal. Nah di situ investor akan meraba-meraba potensinya atau memilih tempat lain,” sambung Moshe.
Sebagai proyek jangka panjang, investor yang bergerak di industri migas memerlukan sejumlah keamanan berupa tersedianya infrastruktur dan kepastian dalam hukum dan investasi. Apalagi, saat ini harga minyak mentah dunia masih fluktuatif.
Lebih lanjut, kata Moshe, sejumlah perusahaan minyak dan gas lebih menyukai harga yang tidak terlalu tinggi tapi stabil. Hal tersebut dirasa lebih mudah dalam memprediksi situasi pasar dan perencanaan investasi.
“Menurut pengalaman kami, setinggi-tingginya naiknya harga, jauh lebih sakit saat harga turun. Jadi investor itu gak suka-suka banget sama harga tinggi karena pas jatuh itu lebih dramatis. Jadi perusahaan migas juga melihat kondisi ke depan dan berhati-hati dalam berinvestasi. Kenaikan harga minyak juga merupakan hal yang sementara,” ujarnya.
Saat ini, walau harga minyak dan gas melonjak, para perusahaan masih ‘wait and see’ dalam melakukan perburuan lokasi investasi. Moshe berujar, adanya sejumlah kenaikan investasi saat ini diakibatkan oleh adanya pelonggaran lockdown pandemi Covid-19.
Kegiatan dan bisnis travel sudah mulai bergeliat dan pergerakan masyakrat sudah lebih leluasa. Dengan begini, Pemerintah dirasa perlu melakukan perombakan dalam upaya menggandeng investor.
“Hal seperti itu bukan berarti Indonesia akan bangkit lagi dan bisa mengangkat produksinya jauh di atas 750.000 BOPD, karena dari sisi investasi masih ‘wait and see’,” tukasnya.
Kementerian ESDM menargetkan investasi sektor migas pada 2022 sebesar US$ 17 Miliar. Angka ini naik 1,13% dibandingkan target 2021 sebesar US$ 16,81 miliar. Target tersebut terdiri dari investasi hulu US$ 12,872 miliar dan investasi hilir sebesar US$ 4,128 miliar.
"Untuk hilir kami perhatikan karena meski kecil-kecil menjadi backbone bagi perekonomian," ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji beberapa waktu lalu.