Harga minyak kembali naik hingga ke level US$ 110 per barel. Brent berada di level US$ 112,82, sedangkan West Texas Intermediate (WTI) di level US$ 109,50 setelah Uni Eropa kembali mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi energi kepada Rusia atas invasi ke Ukraina.
Sebelumnya harga minyak sempat turun hingga ke level US$ 95-an per barel seiring adanya pembicaraan damai antara Rusia dengan Ukraina. Menteri Luar Negeri Irlandia, Simon Coveney, mengatakan UE harus meningkatkan sanksi terhadap Rusia di sektor energi, khususnya minyak dan batu bara.
"Melihat sejauh mana kehancuran di Ukraina saat ini, sangat sulit untuk menyatakan kita tidak meningkatkan sanksi terhadap Rusia di sektor energi," kata Coveney seperti dikutip dari Reuters, Senin (21/3).
Beberapa waktu lalu, Uni Eropa telah memberlakukan sejumlah sanksi kepada Rusia, salah satunya dengan pembekuan asset bank sentral Rusia. Keinginan Eropa untuk meningkatkan sanksi kepada Rusia disebabkan oleh meningkatnya krisis kemanuasian yang terjadi di kota Pelabuhan Mariupol, Ukranina.
Negara-negara Baltik termasuk Lithuania menilai embargo di sekror energi sebagai langkah logis, sementara Jerman memperingatkan agar tidak bertindak terlalu cepat karena harga energi yang terlampau tinggi di Eropa.
"Tidak dapat dihindari kita mulai membicarakan sanksi terhadap Rusia di sektor energi, karena minyak adalah pendapatan terbesar bagi anggaran Rusia," kata Menteri Luar Negeri Lithuania, Gabrielius Landsbergis.
Sementara itu, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, tiba di Brussel pada hari Kamis (24/3) untuk menghadiri pertemuan puncak dengan 30 sekutu NATO, Uni Eropa, dan anggota G7 termasuk Jepang. Pertemuan tersebut digelar untuk memperkuat tanggapan Barat terhadap Moskow.
Dalam pembahasan tersebut, pilihan terberat yakni apakah Uni Eropa akan menargetkan minyak Rusia sebagai target sanksi seperti yang telah dilakukan Amerika Serikat (AS) dan Inggris, mengingat ketergantungan 27 negara Uni Eropa pada gas Rusia untuk energi.
Moskow sendiri telah memperingatkan bahwa sanksi Uni Eropa terhadap minyak Rusia dapat mendorongnya untuk menutup pipa gas ke Eropa. Untuk saat ini, 40% gas Uni Eropa berasal dari Rusia. Jerman menjadi salah satu negara yang paling bergantung. Simak databoks berikut:
Meski demikian, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte mengatakan bahwa UE tidak dapat begitu saja lepas dari pasokan energi Rusia. "Terlalu banyak kilang di bagian timur dan barat Eropa masih sepenuhnya bergantung pada minyak Rusia dan bahkan lebih buruk dengan gas," ujarnya.
Meski demikian dia sepakat bahwa UE harus menghilangkan ketergantungan dari pasokan energi Rusia. "Kita harus melakukannya secepat mungkin, tapi kita tidak bisa melakukannya besok," tambahnya.
Di sisi lain, Kremlin, sebutan pemerintah Rusia, mengatakan Eropa akan terpukul keras jika terjadi embargo minyak Rusia sementara di satu sisi tidak akan mempengaruhi Amerika Serikat (AS). Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan pertanyaan tentang embargo minyak adalah topik yang sangat kompleks.
"Ini adalah keputusan yang akan memukul semua orang. Orang Amerika tidak akan terpukul dan dampaknya akan jauh lebih baik daripada orang Eropa. Orang Eropa akan kesulitan," kata Peskov.
Dari rata-rata harian 4,39 juta barel minyak yang diekspor Rusia ke klien asing utamanya dari 1 hingga 15 Maret melalui jalur pipa dan pelabuhan ke arah barat di Laut Hitam dan Baltik. Jalun ini secara tradisional melayani pasar Eropa dengan aliran mencapai sekitar 2,7 juta barel per hari, menurut data industri minyak Rusia.
Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan adanya kemungkinan produksi minyak dalam negeri di Rusia akan menurun seiring mogoknya perusahaan minyak multinasional.
Menurut dia jika wacana sanksi embargo minyak dan gas oleh UE kepada Rusia benar terjadi, hal tersebut tak lantas membuat harga minyak dunia otomatis melonjak tinggi. Menurutnya, negara-negara timur tengah seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Iran, bahkan AS bisa menggantikan hilangnya pasokan dari Rusia.
“Saya kira harga minyak akan terus naik dan memang pasar minyak itu sangat dinamis. Yang sekarang harus dilihat apakah suplai energi Rusia yang berkurang 3 juta barel per hari bisa digantikan tidak dengan produsen lain?” kata Fabby.
Fabby menambahkan, saat ini negara-negara eropa juga berupaya untuk mengendalikan konsumsi energi, khususnya minyak karena faktor efisiensi, dengan harapan menimbulkan suplai dan permintaan yang seimbang di pasar.
“Kalau di pasar seimbang, kenaikan harga tidak terjadi. Bisa juga minyak dari Venezuela yang terkena embargo dari Amerika, kalau Amerika sedikit melunak bisa saja produksi minyak Venezuela naik dan diekspor ke Uni Eropa,” tukas Fabby.