Pertamina mengajukan permintaan untuk menambah kuota solar bersubsidi sebesar 2 juta kilo liter (KL) menjadi 17 KL saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada Selasa (29 /3). Permintaan tersebut mendapat dukungan untuk selanjutnya dibahas bersama Kementerian ESDM.
Wakil Ketua Komis VII DPR, Eddy Soeparno mengatakan penambahan kuota solar ini dibutuhkan untuk menjaga pasokan. “Komisi VII mendukung agar keberlangsungan Pertamina sebagai entitas yang memegang peran vital dalam menyediakan BBM untuk seluruh negeri ini bisa dilaksanakan,” ujarnya.
Meski demikian penambahan kuota dinilai tidak akan menyelesaikan kelangkaan solar bersubsidi di lapangan. Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengatakan penambahan kuota hanya menyelesaikan masalah kelangkaan solar bersubsisi secara sementara.
“Berapapun kuota yang ditetapkan oleh Pemerintah pada akhirnya pasti diakhir tahun ada cerita yang namanya kelangkaan” kata Mamit saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Rabu (23/3), siang.
Mamit menambahkan, akar masalah dari kelangkaan solar subsidi di sejumlah SPBU disebabkan oleh minimnya pengawasan dan lebarnya disparitas antara harga solar bersubsidi dengan solar non subsidi. Adapun harga solar non subsidi seperti Dexlite dijual di harga Rp 12.950 per liter. Sementara solar subsidi dilego Rp 5.150 per liter.
“Karena dispartitas harganya jauh, gimana orang tidak tergiur untuk menyelundupkan, curang. Mereka beli Rp 5.000 per liter lalu jual saja Rp 8.000 per liter pasti banyak yang beli,” sambung Mamit.
Ketimbang menambah kuota solar bersubsidi, Mamit berharap pemerintah dan Pertamina terus meningkatkan pengawasan dan aturan yang jelas mengenai siapa saja yang berhak untuk mendapatkan solar subsidi.
Selain itu, Mamit juga sepakat dengan ususlan DPR yang mengharuskan adanya koordinasi antara Kementerian ESDM, Pertamina, BPH MIgas, dan aparat penegak hukum untuk mengawasi distribusi maupun penyaluran solar bersubsidi.
“Sehingga benar-benar ada distribusi yang tepat sasaran. Dan yang paling penting harus ada edukasi dari pemerintah kepada masyarakat terkait siapa saja yang berhak atas solar subsidi,” ujarnya.
Mamit menjelaskan, Rujukkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 Tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak dinilai tidak memberikan kriteria rigit yang berdampak pada implementasi distribusi yang buruk.
“Karena tidak ada ketegasan dari pemerintah yang menyatakan bahwa siapa yang berhak menggunakan solar subsidi, implementasinya ini tidak detail," ujarnya.
Sebab perpres tersebut hanya mengatur untuk kendaraan pribadi, kendaraan umum atau barang atau penumpang maksimal roda enam. "Ini maksudnya roda enam ini siapa? kadang-kadang kan truk pertambangan dan perkebunan rodanya cuma enam nih, truk yang kecil-kecil,” sambungnya.
Mamit merasa Perpres tersebut harus dipertegas dengan peraturan turunan yang mengatur tentang indutri mana saja yang boleh dan tidak boleh menerima jatah solar subsidi. Industri besar seperti pertambangan, perkebunan skala luas, dan manufaktur dilarang untuk mendapat jatah solar subsidi.
“Aturannya dipertegas misalnya yang boleh hanya angkutan sembako, angkutan pupuk, angkutan pertanian. Kalau sekarang kan siapa pun bisa dapat solar subsidi, selama pertambangan dan perkebunan punya truk yang kecil ya bisa-bisa saja. Trus mobil pribadi itu juga dibatasi dengan melihat CC dan tahun pembuatannya,” ujarnya.
Pertamina juga disarankan untuk mengoptimalisasi digitalisasi yang menghimpun data-data dari para penerima hak solar subsidi. Data-data ini harus terintegrasi antara pangkalan data Pertamina dan seluruh SPBU yang ada di tanah air.
Dengan metode ini, diharap penyaluran solar subsidi dapat lebih tepat sasaran. “Nanti jika ada mobil yang tidak terdaftar dan tidak sesuai ya jangan diberikan dan petugasnya tidak bisa mengisi,” jelas Mamit.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, menjelaskan realisasi penjualan solar bersubsidi kepada masyarakat sampai Februari sudah melebih kuota. Dalam dua bulan terakhir, mayoritas regional, kecuali regional Maluku Papua, rata-rata mengalami peningkatan kuota solar subsidi hingga 10%.
Sedangkan hingga Februari 2022, realisasi penyaluran solar subsidi mencapai 2,49 juta kilo liter (KL), atau 10% di atas kuota 2,27 juta kilo liter.
Dia menambahkan bahwa porsi solar subsidi yang telah terjual hingga hari ini mencapai 93% dari total pasokan, sedangkan non-subsidi hanya 7%. Menurut pantauan Pertamina dan aparat kepolisian di lapangan, antrean solar di sejumlah SPBU justru dipenuhi oleh antrean truk-truk industri besar seperti sawit dan pertambangan.
“Ini perlu ditertibkan. Selain itu, yang dibutuhkan itu ada peraturan yang lebih detail atau turunan Perpres untuk referensi hukum di lapangan,” sambung Nicke.
Nicke menduga, dari 93% solar subsidi yang disalurkan, sebagian besar diambil oleh para pelaku industri besar. Pasalnya, Nicke melihat penjualan solar non-subsidi turun sementara penjualan solar subsidi naik di saat kegiatan industri melonjak.
Nicke memprediksi, hingga akhir tahun, kelebihan penyaluran solar bersubdisi dapat menyentuh angka 16% dari total kuota. Ia berharap kepada pemerintah untuk tetap memberikan pasokan solar subsidi walau sudah melebihi kuota yang ditentukan.