Kementerian ESDM akan mulai memasarkan solar dengan cetane number (CN) 51 yang memiliki kandungan sulfur maksimal 50 ppm atau setara Euro IV di seluruh SPBU di seluruh Indonesia mulai 1 April 2022.
Penyediaan produk baru tersebut merupakan salah satu upaya dalam mendukung transisi energi menuju menuju energi yang bersih dan ramah lingkungan melalui peningkatan spesifikasi BBM yang ada saat ini, melalui implementasi standar dan mutu.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas), Tutuka Ariadji, mengatakan bahwa kendaraan yang menggunakan solar jenis ini akan menghasilkan emisi gas buang yang lebih bersih.
“Pemerintah mengharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan BBM yang lebih ramah lingkungan,” kata Tutuka dalam keterangan resmi yang dikutip pada Kamis (31/3).
Adapun implementasi BBM jenis Solar 51 tersebut merupakan tindak lanjut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 Tahun 2017 tanggal 7 April 2017 Tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Tipe Baru Kategori M, Kategori N dan Kategori O.
Serta Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S-786/MENLHK-PPKL/SET/PKL-3/5/2020 tanggal 20 Mei 2020 hal Penundaan Penerapan Emisi Gas Buang Motor Diesel.
Mulai 7 April 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mewajibkan setiap usaha dan/atau kegiatan produksi kendaraan bermotor yang beroda empat atau lebih tipe baru untuk memenuhi ketentuan Baku Mutu Emisi Gas Buang yang pengujiannya dilakukan menggunakan bahan bakar minyak diesel dengan parameter: Cetane Number (CN) minimal 51, kandungan sulfur maks. 50 ppm dan kekentalan (viscosity) 2-4,5 mm2/s,
Tutuka menyampaikan, dalam proses penyusunan standar dan mutu bahan bakar, Ditjen Migas mempertimbangkan aspek-aspek perkembangan teknologi, kemampuan produsen, kemampuan dan kebutuhan konsumen, keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup.
“Proses penyusunan standar bahan bakar ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan, antara lain perwakilan dari pemerintah, produsen bahan bakar, konsumen bahan bakar, asosiasi, dan akademisi,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK, Luckmi Purwandari, menyampaikan sektor transportasi menjadi sumber utama pencemaran udara di wilayah perkotaan.
Hasil inventarisasi yang dilakukan di 28 kabupaten dan kota selama tahun 2012 hingga 2021, menunjukkan 70% beban emisi di perkotaan dihasilkan oleh kendaraan bermotor.
Menurut Luckmi, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menekan pencemaran udara oleh kendaraan bermotor adalah dengan melakukan uji emisi untuk mengetahui tingkat efisiensi dan kinerja pembakaran pada mesin. “Efisiensi kendaraan dipengaruhi oleh perawatan dan penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan," paparnya.
Direktur Logistik dan Infrastruktur PT Pertamina (Persero) Mulyono pada kesempatan tersebut menegaskan komitmen Pertamina memenuhi regulasi yang telah ditetapkan.
"Sesuai regulasi, Pertamina harus memenuhi standar bahan bakar diesel dengan kandungan CN minimal 51 dan maksimal sulfur 50 ppm atau setara standar Euro IV. Pertamina akan memenuhi dan menyediakan bahan bakar ini, mulai dari sisi hulu di produksi kilang hingga di sisi hilir di pendistribusiannya ke lembaga penyalur," ujarnya.
Sejak Agustus 2021, PT Kilang Pertamina Internasional, Sub Holding Refining & Petrochemical PT Pertamina (Persero), telah memproduksi Pertamina Dex dengan kandungan sulfur maksimal 50 ppm di empat kilangnya dengan kapasitas total per bulan mencapai lebih dari 95 ribu kilo liter.
Di sisi penyaluran, sejak September 2021 Pertamina Dex telah disalurkan kepada konsumen industri. Selanjutnya mulai 1 April 2022, BBM ini akan disalurkan ke 2.155 SPBU di seluruh Indonesia.