PT Pertamina masih mengalami kerugian walau sudah menaikkan harga BBM jenis Pertamax dari Rp 9.000 menjadi Rp 12.500 per liter. Penyebabnya, Pertamina membeli harga minyak mentah dengan harga pasar internasional yang menyentuh US$ 103 per barel.
Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga, Alfian Nasution, mengatakan selisih antara harga pembelian minyak dan penjualan BBM berdampak pada timpangnya cashflow Pertamina.
Selain tingginya harga minyak mentah dunia, biaya operasional dan pajak dan turut menjadi pertimbangan dalam penentuan harga Pertamax yang baru. Kenaikan harga Pertamax juga perlu diimbangi dengan kemampuan ekonomi dan kondisi masyarakat.
“Mengingat Pertamax ini adalah jenis bahan bakar umum yang tidak diberikan kompensasi dan subsidi, ini akan menjadi resiko Pertamina,” kata Alfian dalam diskusi CNBC Energy Corner pada Senin (4/4).
Sejak kenaikan harga Pertamax, terjadi peningkatan penggunaan BBM Pertalite sebesar 15%. Guna menggaet para konsumen yang bermigrasi dalam masa transisi tersebut, Pertamina menawarkan sejumlah hadiah dan promo-promo melalui pembelian dari Aplikasi My Pertamina. Di sisi lain, Alfian menjamin BBM jenis Pertalite tak akan mengalami kelangkaan karene Pertamina memiliki stok selama 19 hari ke depan.
“Kami paham ada sedikit pergeseran konsumsi karena masyarakat kaget harga Pertamax naik. Kami juga menjamin stok Pertalite ada di posisi yang baik, kami menggelontorkan 15% di atas konsumsi rata-rata. Baik di Pertamina dan SPBU itu stok terjamin,” kata Alfian.
Lebih lanjut, kata Alfian, jika harga minyak dunia mengalami tren penurunan yang stabil dan bertahan lama, BBM jenis Pertamax akan berpotensi menyesuaikan harga. Adapun hal ini masih tergantung pada harga minyak dunia, biaya produksi dan harga keekonomian.
“Apabila nanti harga minyak mentah dan harga produksinya itu akan di bawah Rp 12.500 per liter, tentunya kami juga akan mengoreksi harga Pertamax ini turun juga. Karena ini mekanisme pasar yang bergantung pada pergerakan harga minyak mentah dunia,” ujarnya.
Pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi, mengatakan migrasi konsumen dari pengguna Pertamax ke Pertalite karena disparitas harga yang mencapai Rp 4.850 per liter.
Fahmy memperkirakan migrasi konsumen tidak terjadi secara besar-besaran. “Migrasi kemungkinan hanya terjadi pada pengendara motor dan angkutan umum seperti taksi online,” kata Fahmi saat dihubungi hari ini.
Senada dengan Alfian, Fahmi berharap jika nantinya harga minyak dunia mengalami penurunan yang stabil dan bertahan lama, pemerintah bisa mempertimbangkan kembali penentuan harga Pertamax. “Karena Pertamax itu kan didasarkan atas mekanisme pasar yang itu dipengaruhi oleh harga minyak dunia,” ujarnya.
Adapun kenaikan harga pada Pertamax perlu disikapi dengan menambah pengawasan terhadap penyaluran BBM subsidi Petralite. Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno, mengatakan hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya migrasi konsumen Pertamax ke BBM jenis Pertalite.
Menurutnya, pengawasan tersebut harus dilakukan di tiap-tiap SPBU. Para petugas SPBU juga diharapkan untuk selektif dalam memilih calon konsumen yang berhak menerima BBM subsidi Pertalite. Pertalite yang sejatinya terbuat dari 50% campuran BBM jenis Premium seharusnya disalurkan ke konsumen yang berhak.
“Sekarang ini adalah masalah pengawasannya dan itu harus dilakukan di SPBU. Penyelewengan rawan terjadi di SPBU, di Jabodebatbek saja SPBUnya ada 700 saya kira. SPBU harus diberi pemahaman bahwa mereka itu hanya boleh menjual Pertalite kepada mereka yang masuk dalam kategori yang berhak menerima,” kata Eddy saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Senin (4/4), siang.
Eddy pun menyarankan adanya penyaluran Pertalite dengan skema langsung kepada penerima manfaat. Ia menyadari, skema ini perlu dipersiapkan dari jauh hari karena proses akurasi pendataan yang memerlukan waktu. “Kita bicara apakah nanti subsidi (Pertalite) ini diberikan dalam bentuk tunai kepada penerima manfaat. Jadi diberikan kepada yang berhak saja,” ujarnya.