Kenaikan harga minyak mentah dunia berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi keuangan negara. Pasalnya, tiap kenaikan harga minyak US$ 1 per barel, biaya kompensasi BBM bersubsidi yang harus dibayarkan akan menggelembung sebesar Rp 5,7 triliun.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha menjelaskan bahwa angka Rp 5,7 trilun berasal dari selisih asumsi penetapan harga minyak mentah dunia di APBN senilai US$ 63 per barel dengan harga minyak saat ini yang di atas US$ 100 per barel.
“Harga minyak sudah di atas US$ 100 per barel, Tiap US$ 1 kompensasinya Rp 5,7 triliun. Ini jarak asumsinya sudah US$ 40, dikalikan saja,” kata Satya dalam Energy Corner, Senin (11/4).
Satya juga mengatakan bahwa pengadaan minyak di dalam negeri masih bergantung pada minyak impor. Dari perkiraan total komsumsi minyak yang mencapai 1,6 juta barel per hari, produksi minyak di dalam negeri hanya menyentuh 750 ribu barel per hari.
“Tanpa adanya konflik antara Rusia dan Ukraina, pengadaan minyak dalam negeri sudah menjadi perhatian bersama, sebagian besar 60% dilakukan dari impor. Ketegangan geopolitik ini menambah kekhawatiran bahwa pasokan minyak terhambat dan harga di pasar internasioanal melonjak,” ujarnya.
Mengutip data Bloomberg pada Senin (11/4), siang, harga minyak mentah jenis Brent berada di level US$ 100,34 per barel. Sementara West Texas Intermediate (WTI) US$ 95,81 per barel. Tingginya harga minyak mentah dunia juga berdampak pada lonjakan harga minyak mentah Indonesia (ICP).
Kementerian ESDM menetapkan ICP US$ 113,5 per barel pada Maret 2022. Harga tersebut meningkat 18,6% dari US$ 95,72 per barel pada Februari 2022. Jika melihat data historisnya, ICP Maret 2022 ini merupakan harga tertinggi sejak Februari 2013. Ketika itu ICP sempat ditetapkan sebesar US$ 114,86 per barel.
Guna meminimalisir kebocoran kas negara, DEN mengusulkan agar pemerintah menerapkan skema tertutup dalam mendistribusikan BBM bersubdisi seperti Pertalite dan solar.
Satya, mengatakan penyaluran BBM bersubsidi dengan skema distribusi terbuka menyebabkan lemahnya pengawasan dalam proses distribusi. “Karena sekarang ini tidak dibatasi mau beli Pertamax dan pertalite, solar subsidi itu pengawasannya tidak bagus,” paparnya.
Walau begitu, ujar Satya, dalam percobaan yang pernah dilakukan, masih ada sejumlah kendala daam penerapan skema distribusi tertutup untuk penyaluran BBM bersubsidi. Di antaranya kendala di aspek indentifikasi penerima dan sistem digitalisasi penyaluran.