Perusahaan energi kelas dunia asal Belanda, Shell, sedang dalam pembicaraan dengan beberapa perusahaan Cina untuk menjual sahamnya pada proyek gas alam Sakhalin-2 di Rusia, di tengah sanksi yang dikenakan kepada negara tersebut atas invasi ke Ukraina.
Surat kabar Inggris The Telegraph, melaporkan bahwa Shell tengah bernegosiasi dengan tiga perusahaan minyak milik negara Cina, yakni China National Offshore Oil Corp Ltd (CNOOC), China National Petroleum Corp (CNPC) dan Sinopec untuk melepas kepemilikan 27,5% di proyek gas alam cair (LNG) Sakhalin-2.
Seorang sumber internal CNPC mengatakan bahwa perusahaan energi yang didukung negara di Cina mengikuti arahan pemerintah pusat untuk berhati-hati dan bijaksana ketika berhadapan dengan masalah Rusia.
“Komunikasi antar perusahaan Cina dan Rusia pada saat ini hanya berfokus pada perdagangan dan pengembangan proyek baru. Pengambilalihan proyek yang ditinggalkan perusahaan barat tidak ada dalam agenda,” kata sumber tersebut seperti dikutip dari Reuters pada Selasa (26/4).
Sumber internal CNPC lainnya mengatakan bahwa perusahaan Cina tidak mungkin menyerap saham yang dilepas Shell pada proyek tersebut.
Sementara itu juru bicara Sinopec mengatakan bahwa ia tidak mengetahui negosiasi antara Shell dengan tiga perusahaan energi pelat merah Cina dan menolak berkomentar lebih lanjut. Shell juga menolak mengomentari laporan tersebut.
Jepang Khawatirkan Pergantian Pemilik Ancam Keamanan Energinya
Potensi pergantian kepemilikan di proyek LNG raksasa ini membuat Jepang khawatir. Pasalnya dominasi Beijing-Moskow dalam proyek tersebut berpotensi mengurangi akses LNG yang menjadi salah satu sumber energi utama Jepang.
Selain Shell, proyek tersebut dioperasikan raksasa gas Rusia, Gazprom yang menguasai 50% saham, kemudian Mitsui & Co 12,5%, dan Mitsubishi Corp 10%. Dari sekitar 10 juta ton LNG yang diproduksi setiap tahun, sekitar 60% diekspor menuju Jepang.
Proyek ini menyumbang hampir semua impor LNG Jepang dari Rusia dan sekitar 10% dari total impor LNG Jepang. Pada 2021 Jepang membayar sekitar 370 miliar yen untuk gas Rusia.
Sehingga jelas bahwa proyek ini sangat krusial bagi ketahanan energi Jepang. Meskipun pembicaraan Shell dengan tiga perusahaan energi milik negara Cina masih pada tahap awal dan masih berpotensi gagal.
Shell sendiri belum memberi tahu pemegang saham Sakhalin-2 lainnya kapan dan bagaimana rencananya untuk menarik diri dari proyek tersebut. Selain perusahaan Cina, beberapa perusahaan energi telah menunjukkan minat pada saham Shell.
Namun Shell akan membutuhkan persetujuan dari Moskow sebelum dapat menjual sahamnya di Sakhalin-2. “Sekarang sebagian besar masyarakat internasional menentang Rusia, satu-satunya pembeli yang mungkin adalah perusahaan Cina atau Rusia," kata seorang sumber di sebuah perusahaan listrik besar Jepang.
“Bahkan jika Cina dan Rusia akhirnya memiliki mayoritas Sakhalin-2, kontrak jangka panjang akan dihormati. Dampak bisnis di Jepang akan terbatas untuk saat ini,” kata seorang sumber di sebuah perusahaan perdagangan Jepang.
Importir energi Jepang JERA, perusahaan patungan 50-50 antara Tokyo Electric Power Co. Holdings dan Chubu Electric Power, membeli lebih dari 1,5 juta ton LNG Sakhalin-2 setiap tahun di bawah kontrak 20 tahun mulai dari 2009.
Perubahan kepemilikan biasanya tidak akan mempengaruhi kontrak JERA. Tetapi dengan Rusia saat ini berperang dengan Ukraina, ketidakpastian tetap ada.
Berakhirnya kontrak saat ini meningkatkan risiko Jepang kehilangan akses energi. Sejumlah kontrak jangka panjang yang dilakukan perusahaan Jepang akan berakhir pada atau sekitar tahun 2030.
Bahkan dengan asumsi bahwa Mitsui dan Mitsubishi mempertahankan saham Sakhalin-2 mereka, perusahaan China dan Rusia mungkin memiliki suara yang lebih besar atas kontrak pasokan jangka panjang yang baru. Hal ini dapat menyebabkan pengurangan bagian Jepang dalam pasokan LNG.
Bahwa perusahaan-perusahaan di negara-negara otoriter terlibat dalam pengadaan LNG Jepang juga menimbulkan kekhawatiran keamanan energi.
Pengadaan LNG dari Sakhalin-2 jauh lebih murah daripada membeli di pasar spot. Tanpa Sakhalin-2, publik Jepang mungkin menghadapi biaya energi tambahan hingga triliunan yen (1 triliun yen sama dengan US$ 7,79 miliar) per tahun. Tagihan listrik dan gas bisa melonjak. Simak perkembangan harga gas alam pada databoks berikut:
“Kami khawatir jika Jepang keluar dari proyek ini dan jika saham diakuisisi oleh Rusia atau negara ketiga, itu akan menguntungkan Rusia dan tidak akan menjadi sanksi yang efektif,” kata Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang, Koichi Hagiuda seperti dikutip Nikkei.
Bagi Jepang untuk meningkatkan keamanan energi, pembuat kebijakan akan ditugaskan untuk mengeksplorasi opsi lain, seperti diversifikasi pasokan energi, memperluas sumber energi terbarukan, dan memulai kembali pembangkit nuklir yang tidak digunakan.
Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri telah membentuk organisasi baru untuk mempelajari pendekatan untuk memastikan pasokan energi dan logam langka yang stabil.