Harga Minyak Naik Lagi Setelah Anjlok 7% Sepekan Imbas Lockdown Cina

Medco Energi
Harga minyak mulai naik lagi setelah turun signifikan selama sepekan terakhir imbas kondisi lockdown di Cina.
26/4/2022, 11.12 WIB

Harga minyak mentah dunia kembali bangkit setelah selama sepekan sebelumnya terkoreksi cukup dalam dipengaruhi sentimen penguncian wilayah alias lockdown di Cina dan menguatnya nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang lainnya di dunia.

Mengutip oilprice.com, harga minyak Brent sempat turun ke US$ 99,74 per barel pada Senin (25/4) setelah mencapaai titik tertinggi selama sepekan terakhir pada Senin (18/4) di level US$ 111,94 atau turun lebih dari 7%. Hari ini, harga minyak Brent kembali naik ke level US$ 102,85.

Sementara harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) pada Selasa (26/4) berada di level US$ 98,60 per barel. Sehari sebelumya, pada 25 April, harga WTI mencapai titik terendah dalam sepekan terakhir yakni US$ 95,45.

Tren penurunan harga minyak WTI mulai terlihat pada Kamis (21/4) yang saat itu mencapai harga tertinggi dalam sepekan terakhir senilai US$105,15 per barel. Harga WTI merosot pada keesokan harinya di harga US$ 101,50 dan turun terus ke level US$ 101,38.

Volatilitas harga minyak dalam sepekan terakhir disebabkan oleh adanya sentimen kekhawatiran pasar akan kebijakan lockdown Covid-19 di Cina dan menguatnya nilai tukar dolar AS naik ke level tertinggi dua tahun terakhir yang membuat minyak lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.

Di Cina, lockdown untuk melawan Covis-19 di Shanghai telah berlangsung hingga minggu keempat. Lockdown juga terjadi di distrik perbelanjaan terbesar di Beijing.

"Lockdown Cina memukul konsumsi hingga lebih dari satu juta barel per hari," tulis Edward Moya, analis pasar senior untuk OANDA dalam sebuah catatan, sebagaimana dikutip dari Reuters pada Selasa (26/4).

Dia menambahkan bahwa kekhawatiran pasokan bukanlah fokus utama bagi pedagang energi sebab menguatnya nilai tukar dolar menambah tekanan ekstra pada seluruh komoditas, tak terbatas pada energi.

Analis mengatakan sebagian besar penurunan harga minyak turun karena ekspektasi penurunan permintaan di ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

Managing Director SPI Asset Management Stephen Innes mengatakan dalam sebuah catatan: "Minyak kembali diperingkat lebih rendah karena konsumsi Cina terpukul sementara Federal Reserve menaikkan suku bunga untuk memperlambat ekonomi AS.

"Itu adalah dua angin sakal kencang yang menunjukkan beberapa kenaikan minyak akan memberi jalan bagi ketakutan resesi dan kehancuran permintaan."

Jeffrey Halley, analis di broker OANDA, mengatakan bahwa pengetatan pembatasan zero-Covid di Shanghai, dan ketakutan Omicron telah menyebar di Beijing menjadi sentimen yang menekan harga minyak selama sepekan kemarin.

Jutaan orang di Shanghai terpaksa tinggal di rumah mereka di bawah kebijakan ketat Zero-Covid Cina, ketika kota itu memerangi wabah virus terbesarnya sejak hari-hari awal pandemi.

Sekarang ada kegelisahan bahwa Beijing dapat mengikuti kota pelabuhan penting itu ke dalam penguncian pandemi yang merusak.

Tentang prospek kenaikan suku bunga AS pada 4 Mei, Ketua Federal Reserve AS Jerome Powell telah mengindikasikan bahwa suku bunga dapat naik setengah poin bulan depan karena inflasi mencapai level tertinggi sejak 1981. Kedua situasi tersebut diperkirakan akan menekan permintaan bahan bakar.

Pada saat yang sama, ada perkembangan yang dapat meningkatkan pasokan - perusahaan energi AS menambahkan lebih banyak rig minyak dan gas, dan kantor berita Reuters melaporkan bahwa Konsorsium Pipa Rusia-Kazakh melanjutkan ekspor penuh minggu lalu setelah perbaikan dan gangguan.

Tetapi Hiroyuki Kikukawa, manajer umum penelitian di Nissan Securities, mengatakan: "Harga minyak diperkirakan tidak turun di bawah $90 per barel karena prospek potensi larangan oleh Uni Eropa terhadap minyak Rusia di tengah krisis Ukraina yang semakin dalam."

The Times melaporkan pada hari Senin bahwa Uni Eropa sedang mempersiapkan "sanksi cerdas" terhadap impor minyak Rusia, meskipun Jerman - yang sangat bergantung pada minyak Rusia - sebelumnya telah menentang gagasan ini.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu