Usai Sumitomo Metal Mining (SMM) mundur dari kemitraannya dengan PT Vale Indonesia pada proyek peleburan dan pemurnian (smelter) nikel di Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Chief Financial Officer Vale Bernardus Irmanto membeberkan mundurnya Sumitomo dari proyek ini disebabkan adanya perbedaan pandangan atau perspektif dalam upaya mengembangkan Smelter Pomalaa.
Di saat yang sama dia menampik adanya kabar bahwa pecahnya kongsi dengan perusahaan asal Jepang tersebut dikarenakan Vale tak memprioritaskan energi batu bara dalam operasional smelter Pomalaa.
“Tidak ada huhungannya ya, Sumitomo juga komitmen untuk tidak menggunakan batu bara. Ini akibat adanya Pandemi Covid-19 dan sejumlah hal lain yang menjadikan pandangan kami berbeda,” kata Irmanto kepada awak media pada Kamis (28/4).
Sebelumnya Sumitomo mengumumkan bahwa mereka memutuskan untuk mundur dari proyek smelter nikel Pomalaa karena terus tertundanya perizinan dan negosiasi dengan Vale, salah satunya karena pandemi Covid-19.
“SMM telah memutuskan untuk menghentikan studi kelayakan (feasibility study) yang telah berjalan pada proyek konstruksi smelter nikel di Pomala,” tulis pernyataan perusahaan asal Jepang tersebut melalui keterangan tertulis, dikutip Kamis (28/4).
Namun perusahaan yang berkantor pusat di Tokyo, Jepang, ini mengatakan bahwa dalam kondisi negosiasi dan perizinan yang tertunda, Vale terus mencari alternatif untuk mempromosikan proyek Pomala dengan Sumitomo.
“Sumitomo tidak dapat melanjutkan negosiasi dengan Vale karena sulit untuk mempertahankan tim studi proyek internal dan eksternal tanpa prospek kemajuan di masa depan. Sumitomo telah menyimpulkan bahwa kami tidak punya pilihan selain menghentikan studi,” tulis pernyataan Sumitomo.
Tak lama setelah Sumitomo mengumumkan mundur dari proyek tersebut, Vale mengumumkan telah menandatangani Perjanjian Kerangka Kerjasama (Framework Cooperation Agreement - FCA) dengan perusahan tambang asal Cina, Zhejiang Huayou Cobalt Company pada Rabu (27/4).
Kerja sama yang dilakukan dengan Zhejiang meningkatkan potensi kapasitas produksi hingga mencapai 120.000 metrik ton nikel per tahun dari sebelumnya hanya 40.000 metrik ton per tahun. Adapun saat ini proyek Smelter Pomalaa masih dalam tahap pembangunan dan diperkirakan beroperasi pada 2025.
Direktur Utama Vale, Febriany Eddy mengatakan bahwa saat ini pihaknya tengah berupaya melengkapi semua persyaratan, mulai dari teknis, perizinan, komersial, dan pembiayaan.
"Yang pasti, Vale telah mendapatkan izin AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kami didukung habis, agar segera selasai dan investasi masuk. Amdal sudah dapat,” ujarnya.
Vale dan Zhejiang sepakat untuk meminimalkan jejak karbon proyek dengan tidak menggunakan pembangkit listrik tenaga batu bara sebagai sumber listriknya. Smelter Pomalaa akan menerapkan teknologi High-Pressure Acid Leaching (“HPAL”) yang akan menghasilkan nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik.