Perusahaan energi asal Belanda, Shell, serius untuk keluar dari Rusia menyusul invasi Presiden Vladimir Putin ke Ukraina pada 24 Februari 2022 yang masih berlangsung hingga kini.
Shell Overseas Investments B.V. dan anak perusahaannya, B.V. Dordtsche Petroleum Maatschappij, telah menandatangani perjanjian untuk menjual Shell Neft LLC, yang memiliki bisnis ritel dan pelumas Shell di Rusia kepada perusahaan energi di negara tersebut, PJSC LukOIL.
LukOil merupakan perusahaan yang bergerak di industri pertambangan minyak dan gas. Kesepakatan itu mencakup 411 stasiun ritel, sebagian besar terletak di wilayah Tengah dan Barat Laut Rusia, dan pabrik pencampuran pelumas Torzhok, sekitar 200 kilometer barat laut Moskow.
“Prioritas kami adalah kesejahteraan karyawan kami,” kata Direktur Hilir Shell, Huibert Vigeveno, sebagaimana dikutip dari laman resmi Shell pada Jumat (13/5). Huibert menambahkan, berdasarkan kesepakatan tersebut, lebih dari 350 orang yang saat ini dipekerjakan oleh Shell Neft akan dipindahkan ke LukOil sebagai pemilik baru.
Wakil Presiden LukOil, Maxim Donde, menyebut akuisisi bisnis Shell di Rusia sangat sesuai dengan strategi perusahaan untuk mengembangkan saluran penjualan prioritasnya, termasuk ritel, serta bisnis pelumas.
LukOIL membeli bisnis ritel pelumas dan pelumas Shell yang pada 8 Maret lalu mengumumkan rencananya untuk menarik diri secara bertahap dari keterlibatannya dari sektor migas Rusia, termasuk minyak mentah, produk minyak bumi, gas, dan LNG.
Penjualan ditargetkan rampung akhir tahun ini, tergantung persetujuan dari otoritas anti-monopoli Rusia. Mengutip Reuters, US$ 3,9 miliar pasca-pajak setelah menarik diri dari operasinya di Rusia, termasuk kilang LNG Sakhalin 2 yang besar di mana ia memegang 27,5% saham dan dioperasikan oleh Gazprom.
Surat kabar Inggris The Telegraph melaporkan bahwa Shell tengah bernegosiasi dengan tiga perusahaan minyak milik negara Cina, yakni China National Offshore Oil Corp Ltd (CNOOC), China National Petroleum Corp (CNPC) dan Sinopec untuk melepas kepemilikan 27,5% di proyek gas alam cair (LNG) Sakhalin-2.
Meski demikian, sumber internal CNPC mengatakan bahwa perusahaan energi yang didukung negara Cina itu mengikuti arahan pemerintah pusat untuk berhati-hati dan bijaksana ketika berhadapan dengan masalah Rusia.
“Komunikasi antar perusahaan Cina dan Rusia pada saat ini hanya berfokus pada perdagangan dan pengembangan proyek baru. Pengambilalihan proyek yang ditinggalkan perusahaan barat tidak ada dalam agenda,” kata sumber tersebut seperti dikutip dari Reuters pada Selasa (26/4).
Sumber internal CNPC lainnya mengatakan bahwa perusahaan Cina tidak mungkin menyerap saham yang dilepas Shell pada proyek tersebut.
Sementara itu juru bicara Sinopec mengatakan bahwa ia tidak mengetahui negosiasi antara Shell dengan tiga perusahaan energi pelat merah Cina dan menolak berkomentar lebih lanjut. Shell juga menolak mengomentari laporan tersebut.