Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat MPP menilai kondisi keuangan perusahaan minyak negara, Pertamina berisiko menyebabkan krisis. Hal itu mengacu pada kondisi keuangan salah satu Badan Usaha Milik Negara atau BUMN, yang tengah defisit cukup dalam. 

Untuk itu, Achmad mendorong manajemen Pertamina dan pemerintah untuk lebih kreatif menentukan strategi dalam menekan defisit perusahaan. Kondisi Pertamina saat ini, dinilai dalam keadaan krisis, serta tidak kreatifnya Manajemen Pertamina dalam memanfaatkan tren kenaikan harga minyak mentah dunia.

"Bila jajaran komisaris dan direksi Pertamina kreatif, maka seharusnya Pertamina melakukan strategi lain di luar dari mengharapkan penerimaan dari negara," kata Achmad dalam keterangan resminya, Sabtu (21/5).

Sebelumnya, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani membuka kondisi arus kas Pertamina tanpa didampingi Menteri BUMN Erick Thohir. Defisit Pertamina diprediksi mencapai Rp 190 triliun sepanjang 2022. Sementara defisit 2021 lalu mencapai Rp 109 triliun belum dibayarkan pemerintah. Adapun total tagihan Pertamina kepada Pemerintah mencapai Rp 299 triliun hingga Desember 2022.

Sri Mulyani menjelaskan defisit Pertamina bisa mencapai US$ 12,98 miliar atau setara Rp 190,8 triliun (kurs Rp14.700 per dolar AS) pada akhir tahun ini, karena terdampak kenaikan harga minyak mentah dunia.

SMI menjelaskan proyeksi ini didapat dari arus kas Pertamina yang sudah defisit US$2,44 miliar atau Rp35,86 triliun per Maret 2022. Defisit terjadi karena ketika harga minyak mentah dunia naik, Pertamina tidak langsung menaikkan harga BBM di dalam negeri.

Pertamina diketahui menanggung negative carry atau selisih lebar antara harga jual eceran (HJE) dan harga keekonomian BBM, sejak tahun 2021. Alhasil, tahun lalu perusahaan BUMN tersebut mengalami kondisi keuangan constantly negative. 

Menurut dia, sejauh ini kinerja manajemen Pertamina tidak cukup solutif menyelesaikan masalah defisit sejak 2021 lalu. Di sisi lain, masyarakat mengetahui lesunya kinerja Pertamina karena harga Crude Oil di atas dari asumsi menjadi lebih dari US$ 100 per barel yang tadinya diasumsikan US$ 63 per barel.

Di samping itu, dengan harga impor yang naik, menurut Achmad dapat mendorong Pertamina untuk lebih kreatif mencari sumber-sumber penerimaan lain. Selain itu, dia menilai defisit yang dialami Pertamina, seharusnya bisa diselesaikan secara sistemik dan lebih terintegrasi.

Salah satu usulan Narasi Institute untuk menekan defisit Pertamina, yakni pemerintah bisa memanfaatkan temuan anak bangsa yang mampu mengkonversi CPO kelapa sawit, menjadi bensin (gasoline), solar (diesel) dan avtur (bahan bakar pesawat terbang). Dengan begitu, harapannya Indonesia tidak lagi tergantung impor fossil fuel.

Achmad mengatakan, saat ini belum terdengar adanya narasi-narasi Pemerintah mencari sumber pengganti impor BBM. Padahal, penting bagi pemerintah untuk berpikir bagaimana negara bisa memiliki sumber energi sendiri yang mandiri.

"Seandainya investasi dari fosil fuel itu besar dan negara tidak punya kemampuan untuk itu, maka semestinya beralih ke minyak nabati seperti minyak sawit," ujarnya.

Di samping itu, pemerintah juga bisa berkolaborasi dan menentukan strategi dalam memanfaatkan sawit sebagai sumber energi BBM, dan mengganti fosil fuel. Harapannya, jika upaya tersebut dilakukan, maka masalah defisit Pertamina bisa selesai dalam 2-3 tahun ke depan.

"Indonesia akan memiliki kemandirian yang luar biasa, karena minyak nabati ini adalah energi yang tidak akan habis, karena bahan bakunya adalah tanaman sawit," kata Achmad. 

Sementara itu, dia memperkirakan tren kenaikan harga minyak kali ini akan terus meningkat ke kisaran US$ 200/barel. Kenaikan minyak dunia tersebut menyebabkan impor berbiaya mahal. Semakin mahal impor, maka semakin membebani neraca perdagangan dan transaksi berjalan Tanah Air. Jika kondisi tersebut berlanjut, akan berisiko mengganggu nilai tukar rupiah.

Dampak dari ketergantungan impor meluas ke berbagai makroekonomi lainnya. Untuk itu, Achmad mengingatkan pemerintah untuk menghilangkan ketergantungan impor minyak fosil, dengan mulai mengembangkan kemampuan dalam negeri.