Para pemimpin Uni Eropa (UE) akhirnya menyepakati sanksi larangan impor minyak mentah dan produk olahan minyak Rusia. Ini menjadi bagian dari paket sanksi keenam terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina pada Februari yang masih berlangsung hingga kini.
Embargo minyak Rusia via jalur laut menyumbang sekitar 90% dari perdagangan minyak Rusia dan Eropa. Rusia diperkirakan kehilangan pendapatan ekspor sekitar US$ 10 miliar atau setara Rp 145,5 triliun per tahun (asumsi kurs Rp 14.500/US$).
Pertanyaannya adalah, kemana Rusia akan mengalihkan pasokan yang ditolak Eropa? Sebelumnya Deputi Perdana Menteri Rusia Alexander Novak mengatakan bahwa Rusia akan mengalihkan pasokannya ke pasar Asia.
Meski demikian, para pemain di pasar minyak dunia mengatakan bahwa tidak banyak negara Asia yang dapat memproses minyak Ural, minyak mentah yang diproduksi Rusia, dalam proses penyulingan dalam jumlah besar karena mengandung kadar belerang yang sangat tinggi.
“Pembeli di pasar Asia sangat terbatas. Sri Lanka dan indonesia tidak memiliki kemampuan pemrosesan dan pengolahan yang canggih untuk menangani minyak Ural Rusia,” kata seorang pedagang seperti dikutip Bloomberg, Selasa (31/5).
Ini artinya, Rusia akan semakin bergantung kepada Cina dan India untuk membeli lebih banyak lagi, karena dua negara ini memiliki kilang yang mampu memroses minyak Ural. Apalagi Cina telah mencabut penguncian wilayah (lockdown) di Shanghai.
“Perusahaan pengolahan milik negara Cina maupun swasta mungkin memiliki keinginan baru untuk membeli lebih banyak dari Rusia,” kata para pedagang.
Menurut data perusahaan analisis komoditas, Kpler, saat ini ada 74-79 juta barel minyak rusia yang dalam posisi transit di tengah laut, dengan sebagian besarnya menuju India dan Cina. Pasar Asia saat ini telah menjadi pembeli minyak Rusia terbesar, menggantikan Eropa.
Lonjakan tajam dalam minyak Rusia dalam transit melalui laut menunjukkan kekacauan perdagangan energi global imbas invasi Rusia terhadap Ukraina. Amerika Serikat (AS) dan Inggris telah menghentikan impor minyak Rusia dan kini UE.
Cina dan India telah meningkatkan pembeliannya dari Rusia berkat diskon besar yang mereka terima hingga sebesar US$ 30 per barel. Diperkirakan impor minyak Cina dari Rusia pada Mei melonjak mendekati 1,1 juta barel per hari (bph) dari sebelumnya sekitar 750.000 bph pada kuartal I 2022.
“Beberapa pembeli yang tertarik di Asia lebih termotivasi oleh ekonomi daripada mengambil sikap politik,” kata seorang analis minyak senior di Kpler di Singapura Jane Xie, seperti dikutip Bloomberg, Jumat (27/5).
Dia menambahkan bahwa total ekspor minyak Rusia ke pembeli utama Asia, India dan Cina, melonjak ke rekor tertinggi pada April, terutama didorong oleh peningkatan pembelian dari India.
Namun, kemungkinan akan ada batasan berapa banyak yang dapat dibeli secara realistis oleh Cina dan India. Apalagi kedua negara ini telah meningkatkan pembelian minyak dari Rusia hingga ke rekor tertinggi baru sejak dimulainya invasi ke Ukraina. Sehingga Rusia harus mencari calon pembeli baru selain Cina dan India.
Indonesia sebelumnya disebut tertarik untuk membeli minyak Rusia karena tergiur besarnya diskon yang bisa mencapai US$ 30 per barel. Namun rencana ini batal lantaran sejumlah kendala.
“Saya rasa pembelian minyak ke Rusia ini ada berbagai kesulitan, seperti logistiknya dan ada kesulitan pembayarannya jadi tentunya ini perlu dilihat secara keseluruhan,” kata Wakil Menteri BUMN, Pahala Nugraha Mansury, beberapa waktu lalu, Senin (9/5).
Pejabat Sementara (Pjs) Vice President Corporate Communication Pertamina, Heppy Wulansari. Ia mengatakan, saat ini stok minyak di sejumlah kilang masih cukup untuk mengakomodir permintaan bahan bakar minyak (BBM) di tanah air.
“Tidak ada pembelian (minyak mentah) dari Rusia karena stok kilang mencukupi,” kata Heppy melalui pesan singkat kepada Katadata.co.id, Senin (9/5).