Harga Avtur Mahal Meski Tak Lagi Impor, Ini Penjelasan Pertamina

ANTARA FOTO/Olha Mulalinda
Petugas Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) PT. Pertamina (Persero) saat mengecek peralatan di DPPU Bandara Domine Eduard Osok (DEO) Kota Sorong, Papua Barat, Kamis (21/11/2019).
14/6/2022, 11.41 WIB

Sejumlah maskapai penerbangan menaikkan harga tiket pesawat menyusul melonjaknya harga avtur seiring tingginya harga minyak dunia. Biaya avtur berkontribusi pada 40% komposisi harga tiket. Padahal Indonesia telah memproduksi avtur di dalam negeri setelah menghentikan impornya sejak 2021.

PT Pertamina (Persero) menjelaskan bahwa kenaikan harga minyak dunia berdampak pada harga jual avtur yang menjadi salah satu komponen biaya penentu harga MOPS (Mean of Plats Singapore) kerosene (minyak tanah).

"Harga minyak dunia berakibat pada fluktuasi pada harga jual avtur," kata Pjs Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga-Sub Holding Commercial & Trading, Irto Ginting, melalui pesan singkat pada Selasa (14/6).

Irto menambahkan, menurut catatan perusahaan, Hingga April secara nasional rata-rata produksi bulanannya mencapai lebih dari 1.400 juta barel.

Senada dengan Irto, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan naiknya harga avtur disebabkan oleh melonjaknya harga minyak mentah Indonesia (ICP). Kementerian ESDM mematok harga rata-rata ICP US$ 109,61 per barel pada Mei 2022. Nilai ICP ini meningkat US$ 7,1 per barel dari US$ 102,51 per barel pada April 2022.

"Pastinya avtur mengalami kenaikan karena setiap harga minyak yang diproduksi di dalam negeri itu kan berdasarkan harga jual ICP kita," kata Mamit saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Selasa (14/6).

Mamit menambahkan, walau produksi avtur diproduksi di kilang yang berada di dalam negeri, harga avtur tetap tinggi karena pembelian bahan baku minyak dipatok dengan harga ICP. Selain itu, beban biaya produksi juga meningkat karena adanya kenaikan dari bahan baku campuran seperti petrokimia.

"Meskipun Indonesia tidak impor avtur untuk saat ini, ada peningkatan harga karena bahan baku di hulunya ini naik dan ada peningkataan bahan baku yang menyebabkan biaya produksi meningkat," sambung Mamit.

Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, mengungkapkan bahwa 92% dari ongkos produksi BBM nasional dialokasikan untuk harga minyak mentah atau crude oil.

Di masa normal, selisih antara harga crude dan harga produk ada dikisaran US$ 6-8. Saat ini, selisih harga melebar ke US$ 52. Hal tersebut berimbas pada naiknya ongkos produksi Pertamina.

Nicke menyebut, di tengah tegangnya kondisi geopolitik imbas konfik Rusia dan Ukraina, produk gasoil yang merupakan bahan baku Solar dan avtur mengalami lonjakan harga yang tinggi karena kelangkaan di pasar internasional.

"Karena komponen untuk produksi gasoil dunia ini 50% disuplai dari Rusia. Sekarang mereka diembargo, Suplainya berhenti dan sekarang selisih harga crude dengan gasoil yang biasa disebut crack spread yang biasanya US$ 4-5, hari ini mencapai US$ 52," kata Nicke beberapa waktu lalu, Rabu (8/6).

Dengan selisih harga yang tinggi, ujar Nicke, saat ini produk gasoil seperti BBM jenis Solar dan Avtur merupakan produk bahan bakar yang paling mahal di dunia. Nicke menyampaikan, sejak tahun 2019, Pertamina mulai meninggalkan kebiasaan impor BBM jenis Solar dan Avtur.

Adapun produksi kedua BBM tersebut dicampur dengan Bio solar atau B30 yang merupakan hasil pencampuran solar dengan minyak nabati hasil dari minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO).

"Jadi sebetulnya program B30 bisa kita rasakan sekarang. Bayangkan kalau tidak B30. Jadi hari ini kita termasuk yang agak tenang," ujar Nicke.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu