Kementerian ESDMberencana melarang ekspor timah dalam bentuk ingot atau timah batangan. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Ridwan Djamaluddin mengatakan pihaknya sedang menyusun dokumen kajian untuk diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.
"Kalau nanti betul-betul ekspor dalam bentuk ingot dilarang, berarti kita harus siapkan industri pengolahannya dalam jumlah yang masif," ujarnya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada Selasa (21/6).
Dalam paparannya, Ridwan menjelaskan ada sejumlah komoditas timah yang tetap bisa diekspor. Diantaranya timah murni bantangan dengan kandungan stannum (SN) paling rendah 99,9%.
Kemudian timah solder dengan kandungan SN paling rendah 99,7% yang biasa digunakan untuk menyolder dan mengelas, serta barang lain dari timah dengan kandungan SN paling rendah 96% dalam bentuk lembaran, pelat, tabung, peralatan rumah tangga, dan sejenisnya.
Adapun saat ini 98% balok timah yang diproduksi di Indonesia masih ditujukan untuk pasar ekspor. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai eksportir timah terbesar di dunia. Sementara 2% sisanya untuk pasar domestik.
Dengan kondisi tersebut, Ridwan menilai perlu ada investasi yang besar di sektor hilir untuk membangun industri pengolahan di dalam negeri. Industri pengolahan timah di dalam negeri diperlukan untuk mengolah timah batangan yang sebelumnya dikirim ke luar negeri agar bisa digunakan di pasar domestik.
Pada tahun ini, Pemerintah menargetkan produksi timah sebesar 70 ton logam timah. Adapun hingga Mei 2022, produksi timah menyentuh angka 9.654,73 ton, dengan penjualan mencapai 9.629,68 ton.
Ridwan mencatat, Indonesia merupakan produsen timah nomor dua di dunia setelah Cina, dengan cadangan timah mencapai 800 ribu ton atau 17% dari total cadangan timah dunia yang tercatat 4.741.000 Ton.
Wilayah Kepulauan Bangka Blitung menjadi tabungan cadangan logam timah terbesar di Indonesia dengan persentase 91% dari cadangan timah nasional. Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, saat ini terdapat 482 IUP timah di Bangka Blitung, dengan 2 IUP eksplorasi dan 280 IUP operasi produksi.
Direktur Utama PT Timah, Achmad Ardianto menyampaikan perlu adanya perbaikan dalam ekosistem hulu sampai hilir di sektor timah. Pasalnya kapasitas smelter milik PT Timah yang memiliki kapasitas 50 ribu ton tahun tidak dibarengi dengan suplai timah yang masuk ke smelter.
Dia menjelaskan, ada sejumlah bijih timah yang ditambang dari wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah yang tak diserahkan ke Smenter milik PT Timah. Akibatnya, tahun lalu PT Timah hanya sanggup mengolah 26 ribu ton bijih timah dari kapasitas smelter yang mencapai 50 ribu ton.
"Akibatnya kami overheat dan dengan harga timah yang tidak terlalu menguntungkan. Bagi kami itu menggerus keuangan kami dan itu membahayakan," kata Ardianto.
Sebelumnya diberitakan, Pemerintah akan memperketat syarat ekspor pertambangan untuk meningkatkan investasi di sektor tersebut. Tahun ini, pemerintah bahkan akan melarang ekspor bauksit dan timah.
"Ini dalam rangka mewujudkan hilirisasi tadi. Jangan kita jual Tanah Air (barang mentah) terus," kata Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers virtual, Rabu (27/4).
Bauksit merupakan salah satu bahan baku aluminium. Adapun timah merupakan bahan baku untuk memproduksi baja anti karat. "Bauksit tahun ini kemungkinan akan kami tutup (keran ekspornya). Tahun depan atau tahun ini, timah pun akan kami larang ekspornya," kata Bahlil.