Jokowi Bandingkan Subsidi Energi dengan IKN, Pengamat: Tak Relevan

Pertamina
Antrean kendaraan mengisi bahan bakar di SPBU Pertamina.
24/6/2022, 14.23 WIB

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung besarnya anggaran subsidi energi tahun ini yang nilainya mencapai Rp 502 triliun. Guna menghemat anggaran, presiden meminta PLN dan Pertamina untuk melakukan efisiensi.

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan sikap presiden yang demikian dinilai sebagai perbuatan yang tak relevan dan salah kaprah. "Salah sasaran, jadi kritikannya kurang tepat dan barangkali kondisinya gak paham," kata Fahmy kepada Katadata.co.id, Jumat (24/6).

Menurut Fahmy, praktik efisiensi tidak berhubungan langsung dengan membengkaknya subsidi. Pasalnya penambahan subsidi dan kompensasi merupakan hal logis karena adanya kenaikan pada harga minyak dunia dan batu bara di pasar internasional.

Ia menjelaskan, saat ini harga minyak mentah dunia jauh lebih tinggi dari harga yang dipatok pemerintah dalam APBN 2022. Hingga Jumat siang, harga minyak mentah jenis Brent berada di level US$ 110,71 per barel, sementara minyak jenis WTI bertengger US$ 105,04 per barel.

Lonjakan harga juga terjadi pada komoditas energi lain seperti batu bara. Harga mineral hitam di Pasar Ice Newcastle pada hari ini menyentuh US$ 397,5 per ton. Angka ini naik 323,29% dari harga di tahun lalu yang hanya US$ 93,8 per ton.

Lebih lanjut, kata Fahmy, besaran subsudi yang dikucurkan oleh pemerintah kepada komoditas energi merupakan hal yang wajar. Hal itu terjadi karena pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan harga BBM jenis Pertalite dan solar yang menyumbang 80% dari total komsumsi BBM secara nasional.

"Jadi bukan salah PLN dan salah Pertamina karena besaran subsidi lebih ditentukan dari harga minyak dunia yang menjadi variabel utama dalam pembentuk harga, maka konsekuensinya harus menyediakan subsidi. Nah barangkali yang harus dipikirkan oleh pemerintah adalah bagaimana agar subsidi itu tetap sasaran," sambung Fahmy.

Sementera itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyampaikan baik PLN maupun Pertamina sudah berusaha seoptimal mungkin untuk mengurangi beban subsisdi dan kompensasi.

Tempo hari, PLN telah melakukan penyesuaian tarif listrik kepada pelanggan golongan 2.500 VA ke atas. Sementara Pertamina juga sudah menaikkan harga BBM Jenis Pertamax dan dalam waktu dekat, mereka akan meresmikan penyaluran BBM bersubsidi dengan skema digital.

Walau begitu, Mamit menilai PLN bisa masih bisa melakukan sejumlah terobosan untuk mengetatkan efisiensi. salah satunya yakni merampingkan unit bisnis PLN yang dirasa cenderung bertumpuk dari sisi kinerja maupun tanggungjawab.

"Saya ambil contoh dari segi pembangkitan saat ini PLN punya dua pembangkitan. PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) dan PT Indonesian Power. Kenapa ini tidak dijadikan satu, wong secara bisnis sama-sama pembangkitan," kata Mamit kepada Katadata.co.id.

Menurut Mamit, penumpukan unit bisnis yang sama membuat kinerja PLN kurang optimal sekaligus memunculkan ongkos ganda di dalam unit bisnis PLN sendiri. Dari sisi tanggungjawab, masing-masing unit bisnis cendrung terjadi pengulangan satu sama lain. "Segera dilebur menjadi satu agar terjadi efisiensi," sambung Mamit.

Selain itu, Mamit pun berharap agar program konversi kompor listrik dapat segera dilakukan, sebab 80% dari kebutuhan LPG nasional berasal dari impor. Menurut catatan PLN, impor LPG pada 2020 nilainya mencapai Rp 37 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp 51 triliun pada 2021.

Impor diproyeksi mencapai Rp 67,8 triliun pada 2024. Kompor listrik juga dinilai menjadi solusi untuk mengurangi beban subsidi elpiji 3 kg.

"PLN perlu meningkatkan penjualan dari kondisi over supply terutama di Jawa dan Sumatera. Lagipula subsidi elpiji 3 kg siapa saja bisa menggunakan ya. Tapi dengan kompor listrik, pemerintah bisa melakukan pengawasan terhadap penerima manfaat," ujar Mamit.

Sebelumnya Presiden Jokowi menyinggung subsidi energi yang sangat besar, bahkan, angkanya lebih besar ketimbang membangun ibu kota baru. "Angkanya sudah Rp 502 triliun. Ini harus dimengerti, sampai kapan kita bisa subsidi sebesar ini," kata Jokowi di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Selasa (21/6).

Sehari sebelumnya, Presiden memerintahkan dua BUMN PT Pertamina dan PT PLN untuk menerapkan efisiensi anggaran. Menurut Jokowi, besaran subsidi dan kompensasi yang diberikan oleh pemerintah akan percuma jika mereka tak melakukan efisiensi.

"Subsidi dari Kementerian Keuangan tanpa ada usaha efisiensi di PLN dan Pertamina ini yang dilihat publik kok enak banget," ujar Jokowi dalam Sidang Kabinet Paripurna di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (20/6).

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu