Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) terus melakukan berbagai antisipasi dalam menghadapi ancaman krisis energi. Caranya adalah dengan mewujudkan ketahanan energi di Tanah Air.
“Saat ini ada tiga isu seputar energi yaitu pandemi, masalah transisi energi dan konflik antar negara membuat harga minyak dan gas menjadi tinggi, untuk itu kita terus melakukan antisipasi mewujudkan ketahanan energi,” kata Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, Kamis (7/7).
Menurut dia ancaman terdepan yang dihadapi adalah krisis energi dan ketika ada konflik antar negara harga minyak dunia naik. “Ini merupakan momen yang menarik bagi pengambil keputusan, perusahaan dan pemerintah karena dunia sedang gonjang ganjing sehingga perlu pengambilan keputusan yang tepat,” kata dia.
Ia memaparkan apa yang terjadi di Ukraina menyebabkan peta energi kocar kacir karena ketergantungan negara di Eropa terhadap energi Rusia. “Kita tidak pernah menduga harga minyak yang dulu anjlok sampai US$ 20, ini bisa di atas US$ 120 per barel,” kata dia.
Oleh sebab itu presiden mencoba mengambil langkah agar persoalan ini bisa diatasi. Kemudian dari saat ini Indonesia tengah menghadapi energi transisi diantaranya adalah nol emisi pada 2026. “Konsekuensinya ada tambahan biaya bagi sektor industri yang masih menghasilkan CO2,” kata dia.
Selanjutnya langkah yang perlu diambil adalah upaya mengangkat produksi minyak dan gas untuk mengurangi defisit. “Sekarang kita dihadapkan pada bagaimana menaikkan produksi dan mengantisipasi energi transisi,” ujarnya.
Ia melihat peran energi baru dan terbarukan berperan dalam menghadapi energi dan transisi dan mewujudkan kemandirian energi. “Salah satunya adalah gas sehingga perlu dilakukan konversi dari minyak dan gas secara bertahap,” ujarnya.
Selain itu SKK Migas juga tengah menyiapkan rencana strategis soal minyak dan gas mulai dari aspek produksi hingga SDM yang meliputi 10 pilar.
Sebelumnya Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan bahwa Indonesia harus belajar dari pengalaman krisis energi di Eropa. Menurutnya, krisis energi di Eropa terjadi lantaran sumber EBT yang tidak terdiversifikasi.
"Karena hanya mempunyai potensi EBT yang tidak bervariasi di kita, mengembangkan surya dan angin skala besar di satu wilayah. Sehingga begitu ada gangguan cuaca, angin berkurang dan secara sistem ini belum siap mengikuti perubahan tersebut," ujarnya beberapa waktu lalu.
Melihat hal tersebut pemerintah pun akan terus menggenjot pengembangan EBT yang beragam ini secara bersamaan. Sehingga risikonya dapat diminimalkan ketika terjadi gangguan seperti yang terjadi di Eropa.